Sabtu, 26 Mei 2012

Dilema Identitas Nasional Turki


                         Turki adalah salah satu contoh negara yang mengalami perubahan menyeluruh, baik secara ideologis maupun sistem politik. Setelah Revolusi 1923 dan penggunaan ajaran Kemalisme yang berpedoman pada Six Arrow (Republikanisme, Nasionalisme, Sekularisme, Populisme, Statism dan Revolusionism), praktis Turki berubah menjadi negara sekuler ala Barat yang mendorong sektor agama menjadi urusan yang lebih privat, jauh dari publik. Kaum Kemalis memang menginginkan modernitas pada tiga sekor utama, yaitu politik/institusional, ekonomi dan budaya (ideological) yang bertujuan utama “membawa Turki ke tingkat kebudayaan yang lebih maju”, yang kala itu direpresentasikan sebaga Barat[1].
Doktrinasi identitas sebagai satu kesatuan bangsa Turki diterima rakyatnya sebagaimana yang tercantum pada pasal 88 Konstitusi[2]. Pemerintahannya yang notabene sangat sekuler dan mengikuti pola-pola Barat berhadapan dengan masyarakat internal Turki sendiri yang masih tetap memelihara nilai-nilai dan identitas Islam sekecil apapun interpretasi mereka.
Padahal dalam konstelasi politik internasional kini, identitas mulai dipertanyakan terkait dengan isu-isu kontemporer, termasuk yang dialami Turki. Terlebih lagi, setelah era Perang Dingin, isu-isu identitas termasuk di dalamnya budaya, mulai berkembang di ranah politik internasional[3]. Sebagai negara yang memiliki power medium ditinjau dari letak geografis, populasi dan kapabilitas militernya, kebijakan yang diambil Turki sedikit banyak dipengaruhi oleh isu kontemporer yang sedang dialami oleh aktor-aktor dalam struktur internasional di sekitarnya[4]. Kebijakan luar negeri Turki yang sebelumnya tidak terlalu dominan di Timur Tengah pada era Perang Dingin pun kini harus menyesuaikan dengan kondisi global dimana perhatian aktor-aktor utamanya bergeser pada daerah Timur Tengah.
  Budaya didefinisikan sebagai kesadaran atas persamaan bahasa, etnisitas, sejarah, agama ataupun lanskap geografis . Persamaan identitas, yang bisa dicontohkan dalam bentuk kesamaan latar belakang  bangsa, agama ataupun sejarah memberikan “label” bagi para pemiliknya, yang membedakaannya dari yang lain. Identitas inilah, mengutip istilah yang digunakan  Edward Said pada suatu titik pemahaman tertentu, mampu mengidentifikasikan orang lain yang memiliki perbedaan identitas sebagai liyan/ the Others  di luar grup mereka sendiri. Persoalan ini dapat berujung pada dua hasil: kerjasama/ kooperasi atau konflik. Perbedaan identitas bisa terjadi meskipun secara fisik mereka tinggal di wilayah yang berdekatan, karena perbedaan ini lebih bersifat psikologis (psycological distance). Dalam perkembangannya, identitas yang dimiliki masyarakat di dunia sangat kompleks, tidak hanya terdiri dari satu jenis identitas (multiple identities), warga muslim Turki tentunya merasa sebagai warga Turki sekaligus umat Islam. Rasa memiliki identitas yang sama akan timbul apabila diserang oleh mereka yang mengusung identitas yang berlawanan sehingga mereka yang berada dalam kondisi terancam identitasnya itu harus memilih untuk masuk kelompok yang mana . Identitas kelompok pada akhirnya akan menimbulkan moral communities yang mengikat dan mempengaruhi cara pandang suatu masyarakat.
Kondisi Politik Luar Negeri (PLN) Turki, secara umum dipengaruhi oleh: kondisi geopolitik, identitas dan latar belakang sejarah (historical background)-nya[5]. Letak negara yang berada di persilangan tiga benua besar (Asia, Eropa dan Afrika) serta semenjak ditemukannya minyak di Timur Tengah dan Kaukasus juga menjadikan apapun kebijakan luar negeri yang diambil Turki juga berefek minimal pada negara-negara yang satu regional dengannya hingga negara-negara lain yang memiliki kepentingan tidak langsung dengan Turki, misalkan AS dan Rusia. Faktor kedua yaitu tentang isu identitas berangkat dari dua pertanyaan mendasar, yaitu tentang dimana sebenarnya Turki berada —Asia, Timur Tengah, Balkan atau Barat (Western) seperti yang dicita-citakan Mustafa Kemal, atau lebih lanjut Turki juga dapat menjadi bagian dari semua regional itu dalam waktu yang bersamaan; dan bagaimana seharusnya identitas nasional Turki terbentuk—sekuler kah dengan tetap berpijak pada fakta bahwa penduduk Turki yang muslim, atau menganut sistem negara multi etnik? Titik awal analisis rangkaian pertanyaan mengenai identitas ini dapat dimulai dari cita-cita awal pendiri Turki modern. Yaitu tentang keinginan untuk memodernisasi Turki, setara dengan nilai-nilai negara Barat (meskipun tidak menyukai intervensi mereka di dalam domestik Turki) yang konsekuensinya menyebabkan nilai-nilai keagamaan didorong menjauh dari sektor publik. Sehingga hingga kini, cita-cita menjadi bagian dari negara Barat tetap menjadi perhatian utama dari elit politik Turki.  Secara umum, di era paska Perang Dingin ideologis politik di Turki terbagi menjadi dua kubu besar, yaitu ideologi Republikan yang konservatif (nasionalisme, sekularisme, dan Westernisasi ala Attaturk) dan kalangan yang lebih religius dan berorientasi pada kelompok-kelompok etnis.
Meskipun Turki negaranya menganut sistem sekuler, pemerintahannya bisa jadi  ingin menunjukkan bahwa sekularitas tidak berarti rasa solidaritasnya terhadap Palestina yang sesama muslim terhapus, terlebih lagi serangan terhadap kapal Mavi Marmara juga menimbulkan korban jiwa warga negara Turki. Dari konsep yang dijelaskan Mansbach & Raferty kondisi seperti ini jamak timbul di era paska Perang Dingin karena power negara semakin menurun sehingga memungkinkan pergerakan identitas-identitas di dalam negara untuk muncul ke permukaan. Namun, untuk mengemukakan analisis mengapa Turki memilih untuk tidak mengakui blokade Israel atas Gaza serta mengancam akan mengeluarkan kebijakan seperti itu, memang diperlukan studi lebih lanjut. Keinginan Turki untuk masuk dalam keanggotaan Uni Eropa, kontroversi penggunaan hijab/ jilbab/ headscarf  untuk perempuan dalam aktivitas politik, persengketaan dengan Siprus dan Yunani dan yang terakhir penurunan level diplomatik dengan Israel sebagai respons dari penerbitan laporan PBB mengenai insiden Freedeom Flotilla menunjukkan bahwa identitas berpengaruh pada serangkaian keputusan yang diambil oleh negara, pada era paska Perang Dingin ini.
Namun secara umum, arah orientasi PLN tetap bergantung pada partai mana yang memiliki suara mayoritas dan menguasai parlemen Turki. Faktor yang ketiga, yaitu mengenai latar belakang sejarah pada politik luar negeri Turki dapat diruntut  karakternya sejak era Kekaisaran Ottoman.  Masa transisi ketika awalnya dulu menjadi negara dengan power kuat kemudian tiba-tiba berubah menjadi negara republik dengan level power medium tentu sulit bagi perumusan kebijakan politik luar negeri Turki. Pengalaman traumatik ini menimbulkan transisi yang sulit bagi Turki. Selain itu, pola kepemimpinan juga menjadi pola tersendiri bagi penerus-penerusnya. Rata-rata kepemimpinan para penerus Attaturk juga berasal dari militer, demikian juga di era dimana Partai Demokrat (Democratic Party –DP) berkuasa. Status quo ini tetap bertahan hingga era 1960-an ketika kebijakan tentang PLN Turki mulai menjadi fokus perhatian pemerintah.


[1] Altunisik, Meliha B &  Tur, Ozlem. Turkey, Challenge of Continuity and Change : Turkey In World Affair. RouledgeCurzon hal 15-16
[2] Altunsuk, Meliha B &  Tur, Ozlem. Turkey: Challenge of Continuity and Change. RouledgeCurzon hlm.  20
[3] Lawson, Stephanie. 2006. Culture and Context in the World Politics. Basingstoke: Palgrave Macmillan hlm. 17
[4] ^ Ibid hlm 131
[5] Altunsuk, Meliha B &  Tur, Ozlem. Turkey, Challenge of Continuity and Change : Turkey In World Affair. RouledgeCurzon hal 89-90

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mengenai Saya

Foto saya
International Relations University of Brawijaya Malang

Blogroll