Minggu, 30 Desember 2012

Bush vs Obama Pasca 9/11

Presiden Bush
The First Linkage: The search for stability in the intenational system.
            Berangkat dari konsep new world order,  Presiden George H. W. Bush memiliki visi akan terciptanya collective security dan the rule of law yang menjadi instrument utama dari terciptanya keamanan global.  Bush I menyatakan bahwa “enduring peace must be our mission”. Bush I juga menyatakan tujuan selepas usai perang dingin bagi Amerika Serikat adalah untuk memenuhi misi historis Amerika Serikat, dimana terciptanya dunia  yang penuh kedamaian dan kesetaraan hak asasi manusia bagi seluruh bangsa.
            Terciptanya new world order menurut Bush I dapat mencegah terjadinya konflik antar Negara. Namun menurut  para cendekiawan, selepas Gulf War  visi Bush I tersebut telah pudar kilaunya. Menurut mereka, cara tersebut justru merupakan cara yang problematic. Sebab meskipun mampu mengatasi konflik antar Negara, cara tersebut tidak dapat mengatasi perang etnis dan ancaman terrorime yang kian marak berkembang. Oleh karena itu, pemikiran Bush I mengenai new world order tersebut dianggap para cendekiawan gagal karena merupakan kebijakan luar negeri yang orientasinya self-described.
            Setelah George W. Bush menjadi Presiden Amerika Serikat, adanya War on Terrorism menyediakan kesempatan bagi beliau untuk menghidupkan kembali konsep new world order yang dipercaya oleh George H. W. Bush. Menurut George W. Bush War on Terrorism dapat menutupi kelemahan konsep new world order George H. W. Bush.  
The Second Linkage: Iraq and the Search for Regional Stability
            George W. Bush mengeluarkan kebijakan untuk menginvasi Iraq dengan alasan bahwa Iraq merupakan axis of evil sehingga merupakan target dari war on terrorism. Sementara bagi George H. W. Bush, tujuan dari dilakukan hal ini adalah untuk menghilangkan kekuatan Iraq di Kuwait dan orientasi militer Iraq yang offensive. Hal ini dirasa perlu dilakukan agar mengurangi kemampuan Iraq untuk menyerang Negara-negara tetangganya.
            Walaupun begitu kebijakan ini ternyata membawa dampak lain terhadap Amerika Serikat. Dewan Keamanan PBB tidak menyetujui kebijakan Amerika Serikat tersebut, dan Negara-negara Arab akhirnya tidak lagi mau berpartisipasi dalam strategi multilateral Bush. 
The Younger Bush
            Pada masa ini dari pada dan menekankan pendekatan multirateral untuk melucuti senjata Saddam, Bush Muda dan White House lebih berpikir bahwa Irak akan membahayakan Keamanan Nasional AS dengan dugaan atas kepemilikan senjata pemusnah masal (Weapon of  Mass Destruction/ WMD). Yang mana kebijakan tersebut mendapatkan dukungan yang kurang dari dunia Internasional, presiden pun menyiapkan pengimplementasian preventive war dengan Irak. Dan yang mana pada akhrinya kebijakan Bush lebih terfokus pada satu aspek yaitu tujuan dari perang itu dari pada berpikir jernih mengenai bagaimana keadaan sehabis perang di Irak.
            Kebijakan Bush mengenai perang terhadap teroris dan juga preventive war terhadap Irak memiliki peluang dan tantangan tersendiri. Salah satunya adalah mereka memikirkan bagaimana nantinya kebijakan War On Terror ini akan mempengaruhi hubungan kerjasama dan koalisi dengan negara-negara Arab. Hal itu memberikan tantangan pada team Bush untuk memikirkan tantangan agar bagaimana tem Bush dapat mengembangkan suatu strategi tampa harus memberikan dampak buruk pada hubungan kerjasamanya. Serorang diplomat bertanggapan bahwa nantinya Bush akan kalah dalam perang itu karena nantinya pasca terjadinya perang itu akan menghasilkan kekacaua di Irak.
            Presiden Bush juga menghadapi dilema lain yaitu bagaimana dan kapan waktu yang tepat untuk memanfaaatkan para pemberontak di Irak yaitu Kurds dan Shiites untuk bangkit melawan Saddam. Selain itu Amerika(Pentagon) juga memberikan bantuan kepada pihak oposisi berupa pelatihan dasar, yang mana atas tindakan tersebut membungkam kritik bahwa nantinya Amerika akan menghianati para pemberontak itu. Tindakan itulah yang membuat Bush Muda berbeda dengan ayahnya. Terjadinya perubahan doktrin yang dianut Amerika yang didasarkan pada Irak mempunyai senjata pemusnah masal yang mengancam kedamaian dunia maka untuk melindungi dunia Bush memperkenalkan dua doktrin baru yaitu preemption dan prevention.
            Selain itu juga presiden Bush menjadikan ini sebagai suatu isu yang personal, karena pada masa kepemerintahan ayahnya (Bush Senior), Saddam mencoba membunuh ayahnya. Yang mana hal tersebut ditujukan atas kritik Bush terhadap counter attack yang dilakukan oleh Clintton yang dinilai bahwa counter attack yang di berikan Amerika pada masa itu menunjukan betapa lemahnya Amerika. Selain itu Bush Muda juga membawa masalah ini ke UN yang dialakukan hanya untuk basa-basi.
            Terjadi beberapa paradox atas kebijakan-kebijakan yang dilakukan bush dalam rangka memerangi terorisme dan juga menumbangkan pemimpin Irak itu. Salah satunya adalah ia tidak memperhitungkan berapa biaya yang dibutuhkan dan apa saja kerusakan yang di timbulkan setelah dilakukannya perang tersebut. Baik kerusakan hubungan antara Amerika dengan koalisi mereka di Arab ataupun kerusakan yang dialami oleh Irak sendiri.
The Third Lingkage: The War on Terror
            Dalam pembahasan ini kita akan melihat hubungan antara Elder Bush dengan Younger Bush (Bush Muda). Pada masa pemerintahan Reagan, peran Elder Bush dalam memerangi terorisme bercampur. Pada saat itu Bush bergabung dalam NSPG (National Security Planning Group) dan isu yang diperdebatkan adalah sebuah grup ektrimis islam (Hezbollah) yang menewaskan lebih dari 200 angkatan darat Amerika. Pada saat semua anggota NSPG setuju untuk melakukan perlawanan terhadap Hezbollah, hanya Bush lah yang memberi pendapat bahwa Amerika tidak seharusnya meluncurkan penyerangan terhadap Hezbollah. Dan hal itulah yang membuat Bush mendapatkan citra buruk.
            Lalu pada periodenya yang kedua Bush berganti halauan menjadi pro akan combat terrorism. Hal itu disampaikan melalui pidatonya yang menyatakan bahwa Amerika tidak akan memberikan keringanan pada terorisme. Yang mana pada masa itu meredakan aktivitas terorisme. Lalu pada awal tahun 1989, Bush menurunkan perioritas perang melawan terorisme menjadi level rendah yang mana hal tersebut diduga sebagai salah satu penyebab terjadinya peristiwa 9/11.
            Pasca terjadinya peristiwa 9/11 membuat Younger Bush (Bush Muda) terdorong untuk memerangi terorisme lebih serius lagi. Keseriusannya terlihat dari terciptanya dua organisasi yang bertugas untuk memerangi teroris yaitu DHS (Departement of Homeland Security) yang terfokus pada ancaman teroris dari luar dan suatu bentuk komando militer USNORTHCOM (US Northern Command) terfokus pada ancaman teroris domestik.
Dalam dua tahun usaha Bush pun membuahkan hasil dengan kalahnya Al-Qaeda. Hasil itu pun membuat Bush memiliki keyakinan dan kepercayaan diri yang penuh untuk melebarkan ekspansi counterterrorismnya ke negara-negara lain di seluruh di dunia yang mana juga mendukung pernyataannya akan keseriusannya dalam memerangi terorisme. Ekspansinya tersebut sampai hingga ke Afghanistan dan juga Pakistan. Namun, hal ini menimbulkan kecurigaan bahwa ekspansi tersebut adalah kedok semata.




Presiden Barack Obama
            Barrack Obama adalah presiden Amerika Serikat yang berasal dari Partai Demokrat. Kepemimpinan Obama berbeda dengan Bush, Obama berusaha bersikap lebih lunak terhadap Irak dan Afganistan dengan mengurangi pasukan militernya di kedua negara tersebut. Presiden Obama memiliki visi untuk menyeimbangkan kembali situasi Amerika Serikat terhadap kebijakan War On Teror dengan cara menggeser atau merubah ideologi, perspektif dan aliansi politik untuk memperkuat Amerika Serikat. Pemerintahan Obama lebih mengedepankan soft power seperti menggunakan taktik daripada menggunakan hard power. Contohnya adalah Presiden Obama membuat tindakan pendekatan secara personal kepada dunia muslim melalui Al-Jazeera (jaringan berita terbesar di Timur Tengah) dengan menyerukan bahwa ia berjanji akan menutup penjara Guantanamo Bay secepatnya.
            Upaya-upaya yang dilakukan Obama untuk memenuhi janji tersebut antara lain seperti Obama menyatakan bahwa dirinya tidak suka akan kekerasan (seperti yang dilakukan pemerintahan Bush), Obama juga menjalin kembali hubungan diplomatik antara Amerika Serikat dengan Iran dan melakukan pembicaraan-pembicaraan terkait nuklir dengan Russia, dan berjanji untuk mengakhiri kependudukan Amerika Serikat atas Irak.
            Terorisme muncul karena beberapa faktor seperti agama atau etnis. Amerika Serikat fokus terhadap War On Terror terhadap kelompok Fundamentalis Islam, hal ini menjelaskan bahwa Amerika Serikat menganggap bahwa ancaman itu datang dari luar bukan dari dalam. Ancama dari luar itu seperti ekspansi Uni Soviet, Mujahedeen di Afganistan dan organisasi teroris islam lainnnya.
Ancaman dan Pendekatan Terkini
            Presiden Barack Obama mendapat tantangan baru apakah dia akan melanjutkan doktrin yang dikeluarkan Presiden Bush atau justru sebaliknya.  Presiden Bush pada saat itu sangat terkonsentrasi pada nuklir Iran. Tailored Deterrence adalah suatu kerangka konseptual yang mulai diadopsi dimana menyerupai adaptasi pendekatan pencegahan diri untuk ancaman yang lebih spesifik. Bagaimanapun segala tindakan Presiden Bush pada saat memimpin baik tindakan pra preventif hingga preventif pada terorisme. Teroris di AS tidak pernah ada di wilayah AS sejak peristiwa 11 September.
            Doktrin Bush telah mengubah tujuan kebijakan luar negeri dan kebijakan militer AS. Pada saat kepemimpinan Bush lebih banyak aksi militer, unilateral, penambahan kapabilitas militer dan pembaharuan dalam promosi demokrasi.
            Terorisme sebagai konsep perspektif dependen. Teroris pasca 9/11 digambarkan bukan sebagai individu yang berbahaya, melainkan telah menjadi suatu fenomena kelompok yang mengancam suatu negara. Komunitas keamanan pun dibentuk oleh AS, Eropa Barat, dan Jepang dalam system internasional untuk merespon ancaman terorisme yang menjadi ancaman global saat ini. AS tidak lagi perlu untuk melindungi kepentingan nasionalnya tetapi harus melindungi nilai demokrasi dan status quo. Ancaman saat ini tidak datang dari kekuatan tradisional daripada dari kelompok – kelompok yang secara langsung mengancam status quonya seperti terorisme.
Tailored Deterrence
            Kebijakan Tailored Deterrence focus pada “siapa” subyek dari pencegahan daripada “bagaimana” pencegahan ini ditangani. Kepentingan masih dalam ranah keamanan tetapi strateginya yang berubah. Kebijakan Tailored Deterrence lebih pada perpektif apa yang melatar belakangi teroris dalam pengertian merespon ketidakabstrakan dari teroris sebagai konsep dan untuk memperlebar pengertian actor dan tindakannya lebih spesifik. Kebijakan ini mempertimbangkan : Karakteristik dan susunan kompleks terhubung dengan kelompok teroris, penggambaran spesifik mengenai ancaman yang dikeluarkannya, apa kelemahan dari grup teroris ini, adakah negara yang mensponsorinya, apa saja tipe individu yang masuk menjadi anggota dan bagaimana caranya menghasilkan lulusan yang berpotensi membentuk kekuatan besar di era globalisasi.
            Pendekatannya adalah bagaimana konsep grup teroris, ideology mereka dan aksi mereka sendiri dengan terbatasnya budaya, ekonomi, politik, infrastruktur dan geografi.
            Sehingga pada masa pemerintahan Obama dimana tidak memanifes level negara tetapi pada grup individu atau rezim spesifik. Studi kasusnya adalah ketika AS menginvasi mengenaiterorisme, yang diinvasi adalah Taliban dan Al Qaeda dan bukan Afghanistan.  Pemerintahan Obama mengevaluasi bagaimana keefektifan kebijakan ini yang berhubungan dengan ancaman keamanan terkini seperti hubungan Iran – Israel dan ancaman non tradisional.  Secara nyata, Obama tidak memiliki keputusan politik di Iran maupun negara – negara lain di Timur Tengah. Lalu respon yang sedikit melemah dalam konflik jalur Gaza juga menyebabkan sedikit melemahnya peran dan status AS di komunitas global.
            Isu mengenai kebijakan luar negeri dan perjuangan menuju hegemon power akan menjadi agenda penting dalam pemerintahan Obama.  Bagaimana cara menangani terorisme yang dapat mengganggu keamanan domestiknya, isu senjata pemusnah masal dan serangan dari cyber.
            Pada Februari 2009. Agen AS Dennis Blair melaporkan dalam pertemuan senat bahwa “perhatian utama pada keamanan As adalah pada krisis ekonomi global dan implikasi geopolitiknya. Tidak stabilnya ekonomi akan membuat ancaman selanjutnya untuk negara berkembang dimana akan membentuk ladang peternakan yang kondusif bagi teroris di masa mendatang”. Sehingga dapat disimpulkan bahwa sebenarnya konsentrasi politik global AS pada masa Obama ini dalam bidang war on terrorism lebih menurun jikan dibandingkan pada masa pemerintahan Bush. Hal ini karena tekanan krisis global sehingga membuat konsentrasi AS lebih ke keamanan ekonomi dari pada keamanan tradisional seperti ancaman dari negara lain ataupun terorisme.
Rebalancing with Smart Power: A Re-assesment of Approach
Presiden Obama harus dapat menyeimbangkan antara doktrin preemption dan unilateralisme dengan penggunaan soft power dan mendorong adanya tindakan kolektif untuk menghadapi ancaman teroris. Obama juga harus menyelaraskan penggunaan hard power bersamaan dengan soft power karena pada masa pemerintahan Presiden Bush, penggunaan soft power dirasa sangat kurang, bahkan hampir tidak ada. Kedua power tersebut harus digunakan secara seimbang untuk dapat memaksimalkan security interest Amerika Serikat (AS) dan mencegah munculnya terorisme.
Soft power menurut Nye adalah kemampuan suatu negara untuk memaksa negara lain dengan menggunakan daya tarik berupa atribut kebudayaan. Dalam penjelasannya, Nye menyatakan bahwa daya tarik yang dimiliki oleh AS bergantung pada budaya, nilai politik seperti demokrasi dan hak asasi manusia, dan kebijakan-kebijakannya. Selain itu dia menambahkan pula bahwa AS harus mengadopsi kebijakan yang dapat menarik para moderat dan memaksimalkan penggunaan diplomasi publik kepada negara-negara muslim. Menurut Nye, AS akan bisa memenangkan perang melawan terorisme jika hal tersebut dapat dilakukan dimana dia menekankan juga pada collective action dan multilateralisme dalam melawan ancaman para teroris.
Hal-hal tersebut merupakan pendekatan yang mengarah kepada politik pragmatis yang bertujuan tidak hanya mencapai tujuan kebijakan luar negeri dalam menghadapi berbagai ancaman, tetapi juga ekspektasi dari publik domestik maupun internasional. Pada tahun 2009, Hillary Clinton mengunjungi Turki dan melakukan sesi wawancara di sebuah acara televisi yang membicarakan tentang politik namun yang lebih berkaitan dengan dirinya sendiri. Hal seperti itu merupakan salah satu bentuk diplomasi yang menunjukkan bahwa masyarakat internasional mulai terinfluence oleh aktor-aktor politik AS dan hal ini menunjukkan bahwa AS menerapkan tindakan pragmatik untuk memperkuat soft powernya.
Tindakan yang dilakukan oleh Presiden Obama yang terkait dengan national security dan kebijakan luar negeri sebagian besar dapat dilihat dari pemikiran tentang “smart power”. Pemikiran tersebut dikeluarkan oleh Center for Strategic and International Studies (CSIS) pada tahun 2006. Inti dari pemikiran tersebut adalah adanya upaya mempertahankan peran utama AS dalam hubungan global yang bergantung pada transisi kebijakan dari pemaksaan dan ketakutan menuju kearah optimisme. Konsep tersebut dapat digunakan untuk mengatasi berbagai masalah dengan menyeimbangkan antara kekuatan militer dan ekonomi AS (hard power) dengan diplomasi (smart power). Konsep smart power dikatakan pernah digunakan oleh Hillary Clinton dalam Putnam’s International Negotiations yang menghasilkan keuntungan dalam hal mempromosikan security community.
Measuring Up and Future Challenges
Pada pidatonya tahun 2007, Obama menyatakan perlunya untuk mengimprove persepsi tentang common security yang ada saat ini. Selain itu konsep global engagement yang ditekankan bukan lagi pada “what we are against”, namun lebih condong pada “what we stand for” dimana hal ini dapat disimpulkan sebagai penggabungan ideologi dengan kebijakan AS diseluruh dunia. Hillary Clinton meyatakan bahwa kebijakan luar negeri AS yang baru akan kembali pada pragmatisme melalui pemikiran smart power. Presiden Obama harus memikirkan ulang tentang konsep global engagement sebaik dia merumuskan peran AS pada tataran global. Salah satu pemikir menyarankan agar Obama menaklukkan tantangan di bidang kemiskinan, yaitu dalam hal pengurangan kemiskinan karena pengurangan tingkat kemiskinan akan mencegah adanya terorisme.
Presiden Obama dalam melakukan transformasi kepemimpinan lebih menekankan pada bidang ekonomi. Padahal kebijakan luar negeri dan war on teror harus dapat dikontrol baik dari segi politik, ekonomi, dan diplomasi. Namun Kuttner menyatakan bahwa peralihan kepemimpinan negara kepada Obama cukup kondusif dimana Obama dianggap lebih baik dari kepemimpinan sebelumnya dan WoT akan menjadi kitik yang akan diterima AS di masa depan yang akan menjadi salah satu tantangan yang harus dihadapi Obama. Kesuksesan obama sebagai presiden juga akan ditentukan oleh sejauh mana dia bisa menjalin hubungan baik dengan negara-negara lain. Pada 2008 Obama mendapatkan kritik atas pernyatannya yang berkaitan dengan kebijakan luar negeri dan menghadapi terorisme yaitu: terlibat dalam aksi militer di Pakistan dan terlibat dalam pembicaraan dengan Ahmadinejad selaku Presiden Iran tanpa syarat apapun. Pekerjaan rumah yang harus dilakukan oleh Presiden Obama adalah menemukan mekanisme yang tepat dimana kebijakan yang dikeluarkan merepresentasikan fokus pada domestik dan juga sekaligus komunitas global, dimana hal ini harus didukung dengan adanya sustainable balance antara kepentinga AS dan nilai-nilai yang dianut.
Current International and Domestic Games
Perbedaan antara karakteristik pemerintahan Bush dan Obama juga terlihat dari kebijakan-kebijakan luar negeri Amerika Serikat yang dalam hal ini diinterpretasikan dalam perilaku Amerika Serikat dalam permasalahan-permasalahan internasional. Perbedaan tersebut terlihat dalam bagaimana Amerika serikat berupaya untuk menerapkan sikap yang berbeda pada masa pemerintahan Bush dan pada masa pemerintahan Obama. Hal tersebut dikarenakan kedua pemimpin tersebut mempunyap power projection dan karakteristik yang berbeda. Diantaranya yaitu dalam dua permasalahan internasional terkait konflik Israel-Palestina serta terkait dengan sikap Iran dalam politik internasional.
o  Israeli – Palestinian Conflict
Konflik antara Israel dan Palestina yang umumnya dikenal dengan permasalahan Gaza Crisis memaksa Israel untuk menginisiasikan Operation Cast Lead yang bertujuan untuk memukul mundur pasukan Hamas yang bermaksud untuk menyerang Israel Selatan dengan menggunakan roket dan berupaya untuk melemahkan wilayah strategis di Israel tersebut. Bagaimanapun juga, tindakan ini merupakan sebagian kecil dari upaya-upaya yang dilakukan selama konflik ini terjadi. Mesir merupakna salah satu negara bagian Timur Tengah yang turut menginisiasikan kesepakatan untuk menghentikan kontak senjata antara dua negara tersebut.
Konflik di Timur Tengah ini menjadi kekhawatiran tersendiri bagi Amerika serikat dikarenakan Amerika Serikat pun mempunyai kepentingan di kawasan Timur Tengah khususnya yang berkaitan dengan kebijakan luar negeri Amerika Serikat pasca peristiwa 9/11. Terjadinya perseteruan antara Israel dan Palestina secara langsung mempengaruhi pula implementasi politik luar negeri Amerika serikat di Timur Tengah, khususnya pada masa pemerintahan Obama.
Seperti pada masa pemerintahan Bush, yang diakui bahwa mengupayakan peredaman konflik anatra Israel dan Palestina adalah suatu upaya yang cukup sulit untuk dilakukan, maka pada pemerintahan Obama terdapat suatu kondisi yang selanjutnya menghambat politik luar negeri Amerika Serikat di Timur Tengah. Di mana di satu sisi, situasi konflik Israel dan Palestina tersebut berpengaruh terhadap upaya Obama untuk mengupayakan negosiasi damai dengan sekutu-sekutunya terutama berkaian dengan War on Terror. Di sisi lainnya, Presiden Obama tidak dapat menghindari konflik tersebut dikarenakan konflik Israel dan Palestina tersebut sedikit banyak pun berpengaruh dalam memicu munculnya krisis ekonomi global. Hal ini pun memaksa Amerika Serikat untuk lebih memperluas pandangan dalam kebijakan politik luar negerinya, yaitu tidak lagi orientasi pada Iraq seperti pada masa pemerintahan Bush, tetapi juga di negara-negara lain di kawasan Timur Tengah seperti Israel dan Palestina.
Apabila Bush lebih berorientasi pada permasalahan keamanan, maka Obama lebih berorientasi pada permasalahan ekonomi. Hal ini selanjutnya membuat Obama untuk menolak melakukan langkah-langkah yang mempunyai porsi tidak lebih besar daripada kebijakan War on Terror. Dalam hal ini, dengan kata lain dapat diketahui pula bahwa Obama menolak untuk lebih memperhatikan permasalahan-permasalahan terkait terorisme, Gaza, dan Iran. Obama memperlihatkan kegagalan dari kekuatan diplomasinya justru ketika Obama memutuskan untuk tidak terlalu memeperhatikan permasalahan keamanan.

o  Iran
Iran merupakan salah satu negara kawasan Timur Tengah yang selalu berupaya untuk mendominasi kekuasaan di kawasan  Timur Tengah. Di mana hal tersebut oleh Amerika Serikat dianggap mengancam Security Community. Dalam hal ini, terdapat dua perdebatan bahwa kedua negara, naik Iran maupun Amerika Serikat ingin menjadi kekuatan yang dominan di kawasan Timur Tengah.
Dalam hal ini, berbeda dengan Bush yang selalu menggunakan kekuatan hard power yakni kekuatan militer untuk melakukan intervensi di Timur Tengah, Obama melakukan pendekatan yang berbeda. Obama, dalam menghadapi kekuatan Iran, menggunakan kekuatan soft power dan diplomasi. Bagaimanapun, yang dilakukan oleh Obama menuai perdebatan di kalangan beberapa scholars. Di mana beberapa beranggapan bahwa harus terdapat keseimbangan antara hard power dan soft power. Namun, yang dilakukan oleh Obama hanyalah satu sisi, yakni soft power. Kekuatan soft power yang diterapkan oleh Obama ini selanjutnya disebut dengan smart power.
Pernyataan Obama tentang perubahan kebijakan luar negeri Amerika Serikat terkait hubungannya dengan Iran ini pun diungkapkan oleh Obama ketika melakukan wawancara dengan salah satu reporter dari Iran. Yakni bahwa Obama mengakui akan adanya sentimen dari Amerkia Serikat pada pemerintahan sebelumnya (Pemerintahan Bush) bahwa Iran dianggap sebagai salah satu ancaman terbesar dalam bidang pertahanan keamanan Amerika Serikat. Namun demikian, pada masa pemerintahannya, Obama menyatakan bahwa akan ada perubahan kebijakan, di mana kebijakan yang diterapkan bukan lagi kebijakan yang bersifat offensive tetapi lebih kepada inisiasi terhadap upaya diplomasi dengan pemerintah Iran. Adapun dengan kebijakan pemerintahan selanjutnya yang berkaitan dengan Iran sebagai ancaman keamanan Amerika Serikat, Obama menyatakan bahwa pemerintahannya akan menghapuskan kebijakan tersebut. Kebijakan luar negeri ini yang selanjutnya dikenal dengan kebijakan pragmatis dalam politik luar negeri Amerika Serikat. Berbeda dengan pemerintahan bush yang memepunyai kebijakan luar negeri agresif. Bagaimanapun, kebijakan Presiden Obama dalam politik luar negeri Amerika serikat yang baru bertujuan untuk memaksimalkan kekuatan soft power dan diplomasi termasuk pula dalam kebijakan War on Terror yang dicanangkannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mengenai Saya

Foto saya
International Relations University of Brawijaya Malang

Blogroll