Presiden
Bush
The First Linkage: The search for stability in the intenational system.
Berangkat
dari konsep new world order, Presiden George H. W. Bush memiliki visi akan
terciptanya collective security dan the rule of law yang menjadi instrument
utama dari terciptanya keamanan global.
Bush I menyatakan bahwa “enduring peace must be our mission”. Bush I
juga menyatakan tujuan selepas usai perang dingin bagi Amerika Serikat adalah
untuk memenuhi misi historis Amerika Serikat, dimana terciptanya dunia yang penuh kedamaian dan kesetaraan hak asasi
manusia bagi seluruh bangsa.
Terciptanya
new world order menurut Bush I dapat mencegah terjadinya konflik antar Negara.
Namun menurut para cendekiawan, selepas Gulf War
visi Bush I tersebut telah pudar kilaunya. Menurut mereka, cara
tersebut justru merupakan cara yang problematic. Sebab meskipun mampu mengatasi
konflik antar Negara, cara tersebut tidak dapat mengatasi perang etnis dan
ancaman terrorime yang kian marak berkembang. Oleh karena itu, pemikiran Bush I
mengenai new world order tersebut dianggap para cendekiawan gagal karena
merupakan kebijakan luar negeri yang orientasinya self-described.
Setelah
George W. Bush menjadi Presiden Amerika Serikat, adanya War on Terrorism menyediakan kesempatan bagi beliau untuk
menghidupkan kembali konsep new world
order yang dipercaya oleh George H. W. Bush. Menurut George W. Bush War on Terrorism dapat menutupi
kelemahan konsep new world order
George H. W. Bush.
The Second Linkage: Iraq and the Search for Regional Stability
George
W. Bush mengeluarkan kebijakan untuk menginvasi Iraq dengan alasan bahwa Iraq
merupakan axis of evil sehingga
merupakan target dari war on terrorism.
Sementara bagi George H. W. Bush, tujuan dari dilakukan hal ini adalah untuk
menghilangkan kekuatan Iraq di Kuwait dan orientasi militer Iraq yang offensive. Hal ini dirasa perlu
dilakukan agar mengurangi kemampuan Iraq untuk menyerang Negara-negara
tetangganya.
Walaupun
begitu kebijakan ini ternyata membawa dampak lain terhadap Amerika Serikat.
Dewan Keamanan PBB tidak menyetujui kebijakan Amerika Serikat tersebut, dan
Negara-negara Arab akhirnya tidak lagi mau berpartisipasi dalam strategi
multilateral Bush.
The
Younger Bush
Pada
masa ini dari pada dan menekankan pendekatan multirateral untuk melucuti
senjata Saddam, Bush Muda dan White House
lebih berpikir bahwa Irak akan membahayakan Keamanan Nasional AS dengan dugaan
atas kepemilikan senjata pemusnah masal (Weapon
of Mass Destruction/ WMD). Yang mana
kebijakan tersebut mendapatkan dukungan yang kurang dari dunia Internasional,
presiden pun menyiapkan pengimplementasian preventive
war dengan Irak. Dan yang mana pada akhrinya kebijakan Bush lebih terfokus
pada satu aspek yaitu tujuan dari perang itu dari pada berpikir jernih mengenai
bagaimana keadaan sehabis perang di Irak.
Kebijakan
Bush mengenai perang terhadap teroris dan juga preventive war terhadap Irak memiliki peluang dan tantangan
tersendiri. Salah satunya adalah mereka memikirkan bagaimana nantinya kebijakan
War On Terror ini akan mempengaruhi
hubungan kerjasama dan koalisi dengan negara-negara Arab. Hal itu memberikan
tantangan pada team Bush untuk memikirkan tantangan agar bagaimana tem Bush
dapat mengembangkan suatu strategi tampa harus memberikan dampak buruk pada
hubungan kerjasamanya. Serorang diplomat bertanggapan bahwa nantinya Bush akan
kalah dalam perang itu karena nantinya pasca terjadinya perang itu akan
menghasilkan kekacaua di Irak.
Presiden
Bush juga menghadapi dilema lain yaitu bagaimana dan kapan waktu yang tepat
untuk memanfaaatkan para pemberontak di Irak yaitu Kurds dan Shiites untuk
bangkit melawan Saddam. Selain itu Amerika(Pentagon) juga memberikan bantuan
kepada pihak oposisi berupa pelatihan dasar, yang mana atas tindakan tersebut
membungkam kritik bahwa nantinya Amerika akan menghianati para pemberontak itu.
Tindakan itulah yang membuat Bush Muda berbeda dengan ayahnya. Terjadinya
perubahan doktrin yang dianut Amerika yang didasarkan pada Irak mempunyai
senjata pemusnah masal yang mengancam kedamaian dunia maka untuk melindungi
dunia Bush memperkenalkan dua doktrin baru yaitu preemption dan prevention.
Selain
itu juga presiden Bush menjadikan ini sebagai suatu isu yang personal, karena
pada masa kepemerintahan ayahnya (Bush Senior), Saddam mencoba membunuh
ayahnya. Yang mana hal tersebut ditujukan atas kritik Bush terhadap counter attack yang dilakukan oleh
Clintton yang dinilai bahwa counter
attack yang di berikan Amerika pada masa itu menunjukan betapa lemahnya
Amerika. Selain itu Bush Muda juga membawa masalah ini ke UN yang dialakukan
hanya untuk basa-basi.
Terjadi
beberapa paradox atas kebijakan-kebijakan yang dilakukan bush dalam rangka
memerangi terorisme dan juga menumbangkan pemimpin Irak itu. Salah satunya
adalah ia tidak memperhitungkan berapa biaya yang dibutuhkan dan apa saja
kerusakan yang di timbulkan setelah dilakukannya perang tersebut. Baik
kerusakan hubungan antara Amerika dengan koalisi mereka di Arab ataupun
kerusakan yang dialami oleh Irak sendiri.
The
Third Lingkage: The War on Terror
Dalam
pembahasan ini kita akan melihat hubungan antara Elder Bush dengan Younger
Bush (Bush Muda). Pada masa pemerintahan Reagan, peran Elder Bush dalam memerangi terorisme bercampur. Pada saat itu Bush
bergabung dalam NSPG (National Security
Planning Group) dan isu yang diperdebatkan adalah sebuah grup ektrimis
islam (Hezbollah) yang menewaskan lebih dari 200 angkatan darat Amerika. Pada
saat semua anggota NSPG setuju untuk melakukan perlawanan terhadap Hezbollah,
hanya Bush lah yang memberi pendapat bahwa Amerika tidak seharusnya meluncurkan
penyerangan terhadap Hezbollah. Dan hal itulah yang membuat Bush mendapatkan
citra buruk.
Lalu
pada periodenya yang kedua Bush berganti halauan menjadi pro akan combat terrorism. Hal itu disampaikan
melalui pidatonya yang menyatakan bahwa Amerika tidak akan memberikan
keringanan pada terorisme. Yang mana pada masa itu meredakan aktivitas
terorisme. Lalu pada awal tahun 1989, Bush menurunkan perioritas perang melawan
terorisme menjadi level rendah yang mana hal tersebut diduga sebagai salah satu
penyebab terjadinya peristiwa 9/11.
Pasca
terjadinya peristiwa 9/11 membuat Younger
Bush (Bush Muda) terdorong untuk memerangi terorisme lebih serius lagi.
Keseriusannya terlihat dari terciptanya dua organisasi yang bertugas untuk
memerangi teroris yaitu DHS (Departement
of Homeland Security) yang terfokus pada ancaman teroris dari luar dan
suatu bentuk komando militer USNORTHCOM (US
Northern Command) terfokus pada ancaman teroris domestik.
Dalam dua tahun usaha
Bush pun membuahkan hasil dengan kalahnya Al-Qaeda. Hasil itu pun membuat Bush
memiliki keyakinan dan kepercayaan diri yang penuh untuk melebarkan ekspansi counterterrorismnya ke negara-negara
lain di seluruh di dunia yang mana juga mendukung pernyataannya akan
keseriusannya dalam memerangi terorisme. Ekspansinya tersebut sampai hingga ke
Afghanistan dan juga Pakistan. Namun, hal ini menimbulkan kecurigaan bahwa
ekspansi tersebut adalah kedok semata.
Presiden Barack Obama
Barrack
Obama adalah presiden Amerika Serikat yang berasal dari Partai Demokrat. Kepemimpinan Obama berbeda dengan Bush, Obama berusaha
bersikap lebih lunak terhadap Irak dan Afganistan dengan mengurangi pasukan
militernya di kedua negara tersebut. Presiden Obama memiliki visi untuk
menyeimbangkan kembali situasi Amerika Serikat terhadap kebijakan War On Teror
dengan cara menggeser atau merubah ideologi, perspektif dan aliansi politik
untuk memperkuat Amerika Serikat. Pemerintahan Obama lebih mengedepankan soft power seperti menggunakan taktik
daripada menggunakan hard power. Contohnya
adalah Presiden Obama membuat tindakan pendekatan secara personal kepada dunia
muslim melalui Al-Jazeera (jaringan berita terbesar di Timur Tengah) dengan menyerukan bahwa ia berjanji akan
menutup penjara Guantanamo Bay secepatnya.
Upaya-upaya
yang dilakukan Obama untuk memenuhi janji tersebut antara lain seperti Obama
menyatakan bahwa dirinya tidak suka akan kekerasan (seperti yang dilakukan
pemerintahan Bush), Obama juga menjalin kembali hubungan diplomatik antara
Amerika Serikat dengan Iran dan melakukan pembicaraan-pembicaraan terkait
nuklir dengan Russia, dan berjanji untuk mengakhiri kependudukan Amerika
Serikat atas Irak.
Terorisme muncul
karena beberapa faktor seperti agama atau etnis. Amerika Serikat fokus terhadap
War On Terror terhadap kelompok Fundamentalis Islam, hal ini menjelaskan bahwa
Amerika Serikat menganggap bahwa ancaman itu datang dari luar bukan dari dalam.
Ancama dari luar itu seperti ekspansi Uni Soviet, Mujahedeen di Afganistan dan
organisasi teroris islam lainnnya.
Ancaman
dan Pendekatan Terkini
Presiden
Barack Obama mendapat tantangan baru apakah dia akan melanjutkan doktrin yang
dikeluarkan Presiden Bush atau justru sebaliknya. Presiden Bush pada saat itu sangat
terkonsentrasi pada nuklir Iran. Tailored
Deterrence adalah suatu kerangka konseptual yang mulai diadopsi dimana
menyerupai adaptasi pendekatan pencegahan diri untuk ancaman yang lebih
spesifik. Bagaimanapun segala tindakan Presiden Bush pada saat memimpin baik
tindakan pra preventif hingga preventif pada terorisme. Teroris di AS tidak
pernah ada di wilayah AS sejak peristiwa 11 September.
Doktrin
Bush telah mengubah tujuan kebijakan luar negeri dan kebijakan militer AS. Pada
saat kepemimpinan Bush lebih banyak aksi militer, unilateral, penambahan
kapabilitas militer dan pembaharuan dalam promosi demokrasi.
Terorisme sebagai konsep perspektif dependen. Teroris
pasca 9/11 digambarkan bukan sebagai individu yang berbahaya, melainkan telah
menjadi suatu fenomena kelompok yang mengancam suatu negara. Komunitas keamanan
pun dibentuk oleh AS, Eropa Barat, dan Jepang dalam system internasional untuk
merespon ancaman terorisme yang menjadi ancaman global saat ini. AS tidak lagi
perlu untuk melindungi kepentingan nasionalnya tetapi harus melindungi nilai
demokrasi dan status quo. Ancaman saat ini tidak datang dari kekuatan
tradisional daripada dari kelompok – kelompok yang secara langsung mengancam
status quonya seperti terorisme.
Tailored Deterrence
Kebijakan Tailored Deterrence focus
pada “siapa” subyek dari pencegahan daripada “bagaimana” pencegahan ini
ditangani. Kepentingan masih dalam ranah keamanan tetapi strateginya yang
berubah. Kebijakan Tailored Deterrence lebih pada perpektif apa yang melatar
belakangi teroris dalam pengertian merespon ketidakabstrakan dari teroris
sebagai konsep dan untuk memperlebar pengertian actor dan tindakannya lebih
spesifik. Kebijakan ini mempertimbangkan : Karakteristik dan susunan kompleks
terhubung dengan kelompok teroris, penggambaran spesifik mengenai ancaman yang
dikeluarkannya, apa kelemahan dari grup teroris ini, adakah negara yang
mensponsorinya, apa saja tipe individu yang masuk menjadi anggota dan bagaimana
caranya menghasilkan lulusan yang berpotensi membentuk kekuatan besar di era
globalisasi.
Pendekatannya adalah bagaimana
konsep grup teroris, ideology mereka dan aksi mereka sendiri dengan terbatasnya
budaya, ekonomi, politik, infrastruktur dan geografi.
Sehingga pada masa pemerintahan
Obama dimana tidak memanifes level negara tetapi pada grup individu atau rezim
spesifik. Studi kasusnya adalah ketika AS menginvasi mengenaiterorisme, yang
diinvasi adalah Taliban dan Al Qaeda dan bukan Afghanistan. Pemerintahan Obama mengevaluasi bagaimana
keefektifan kebijakan ini yang berhubungan dengan ancaman keamanan terkini
seperti hubungan Iran – Israel dan ancaman non tradisional. Secara nyata, Obama tidak memiliki keputusan
politik di Iran maupun negara – negara lain di Timur Tengah. Lalu respon yang
sedikit melemah dalam konflik jalur Gaza juga menyebabkan sedikit melemahnya
peran dan status AS di komunitas global.
Isu mengenai kebijakan luar negeri
dan perjuangan menuju hegemon power akan menjadi agenda penting dalam
pemerintahan Obama. Bagaimana cara
menangani terorisme yang dapat mengganggu keamanan domestiknya, isu senjata pemusnah
masal dan serangan dari cyber.
Pada
Februari 2009. Agen AS Dennis Blair melaporkan dalam pertemuan senat bahwa
“perhatian utama pada keamanan As adalah pada krisis ekonomi global dan
implikasi geopolitiknya. Tidak stabilnya ekonomi akan membuat ancaman
selanjutnya untuk negara berkembang dimana akan membentuk ladang peternakan
yang kondusif bagi teroris di masa mendatang”. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
sebenarnya konsentrasi politik global AS pada masa Obama ini dalam bidang war
on terrorism lebih menurun jikan dibandingkan pada masa pemerintahan Bush. Hal
ini karena tekanan krisis global sehingga membuat konsentrasi AS lebih ke
keamanan ekonomi dari pada keamanan tradisional seperti ancaman dari negara
lain ataupun terorisme.
Rebalancing
with Smart Power: A Re-assesment of Approach
Presiden Obama harus
dapat menyeimbangkan antara doktrin preemption
dan unilateralisme dengan penggunaan soft
power dan mendorong adanya tindakan kolektif untuk menghadapi ancaman
teroris. Obama juga harus menyelaraskan penggunaan hard power bersamaan dengan soft
power karena pada masa pemerintahan Presiden Bush, penggunaan soft power dirasa sangat kurang, bahkan
hampir tidak ada. Kedua power tersebut harus digunakan secara seimbang untuk
dapat memaksimalkan security interest
Amerika Serikat (AS) dan mencegah munculnya terorisme.
Soft
power menurut Nye adalah kemampuan suatu
negara untuk memaksa negara lain dengan menggunakan daya tarik berupa atribut
kebudayaan. Dalam penjelasannya, Nye menyatakan bahwa daya tarik yang dimiliki
oleh AS bergantung pada budaya, nilai politik seperti demokrasi dan hak asasi
manusia, dan kebijakan-kebijakannya. Selain itu dia menambahkan pula bahwa AS
harus mengadopsi kebijakan yang dapat menarik para moderat dan memaksimalkan penggunaan
diplomasi publik kepada negara-negara muslim. Menurut Nye, AS akan bisa
memenangkan perang melawan terorisme jika hal tersebut dapat dilakukan dimana
dia menekankan juga pada collective
action dan multilateralisme dalam melawan ancaman para teroris.
Hal-hal tersebut
merupakan pendekatan yang mengarah kepada politik pragmatis yang bertujuan
tidak hanya mencapai tujuan kebijakan luar negeri dalam menghadapi berbagai
ancaman, tetapi juga ekspektasi dari publik domestik maupun internasional. Pada
tahun 2009, Hillary Clinton mengunjungi Turki dan melakukan sesi wawancara di
sebuah acara televisi yang membicarakan tentang politik namun yang lebih
berkaitan dengan dirinya sendiri. Hal seperti itu merupakan salah satu bentuk
diplomasi yang menunjukkan bahwa masyarakat internasional mulai terinfluence oleh aktor-aktor politik AS
dan hal ini menunjukkan bahwa AS menerapkan tindakan pragmatik untuk memperkuat
soft powernya.
Tindakan yang dilakukan
oleh Presiden Obama yang terkait dengan national
security dan kebijakan luar negeri sebagian besar dapat dilihat dari
pemikiran tentang “smart power”.
Pemikiran tersebut dikeluarkan oleh Center
for Strategic and International Studies (CSIS) pada tahun 2006. Inti dari
pemikiran tersebut adalah adanya upaya mempertahankan peran utama AS dalam
hubungan global yang bergantung pada transisi kebijakan dari pemaksaan dan
ketakutan menuju kearah optimisme. Konsep tersebut dapat digunakan untuk
mengatasi berbagai masalah dengan menyeimbangkan antara kekuatan militer dan
ekonomi AS (hard power) dengan
diplomasi (smart power). Konsep smart
power dikatakan pernah digunakan oleh Hillary Clinton dalam Putnam’s International Negotiations yang
menghasilkan keuntungan dalam hal mempromosikan security community.
Measuring
Up and Future Challenges
Pada pidatonya tahun
2007, Obama menyatakan perlunya untuk mengimprove
persepsi tentang common security yang
ada saat ini. Selain itu konsep global
engagement yang ditekankan bukan lagi pada “what we are against”, namun lebih condong pada “what we stand for” dimana hal ini dapat
disimpulkan sebagai penggabungan ideologi dengan kebijakan AS diseluruh dunia.
Hillary Clinton meyatakan bahwa kebijakan luar negeri AS yang baru akan kembali
pada pragmatisme melalui pemikiran smart
power. Presiden Obama harus memikirkan ulang tentang konsep global engagement sebaik dia merumuskan
peran AS pada tataran global. Salah satu pemikir menyarankan agar Obama
menaklukkan tantangan di bidang kemiskinan, yaitu dalam hal pengurangan
kemiskinan karena pengurangan tingkat kemiskinan akan mencegah adanya
terorisme.
Presiden Obama dalam
melakukan transformasi kepemimpinan lebih menekankan pada bidang ekonomi.
Padahal kebijakan luar negeri dan war on teror harus dapat dikontrol baik dari
segi politik, ekonomi, dan diplomasi. Namun Kuttner menyatakan bahwa peralihan
kepemimpinan negara kepada Obama cukup kondusif dimana Obama dianggap lebih
baik dari kepemimpinan sebelumnya dan WoT akan menjadi kitik yang akan diterima
AS di masa depan yang akan menjadi salah satu tantangan yang harus dihadapi
Obama. Kesuksesan obama sebagai presiden juga akan ditentukan oleh sejauh mana
dia bisa menjalin hubungan baik dengan negara-negara lain. Pada 2008 Obama
mendapatkan kritik atas pernyatannya yang berkaitan dengan kebijakan luar
negeri dan menghadapi terorisme yaitu: terlibat dalam aksi militer di Pakistan
dan terlibat dalam pembicaraan dengan Ahmadinejad selaku Presiden Iran tanpa
syarat apapun. Pekerjaan rumah yang harus dilakukan oleh Presiden Obama adalah
menemukan mekanisme yang tepat dimana kebijakan yang dikeluarkan
merepresentasikan fokus pada domestik dan juga sekaligus komunitas global,
dimana hal ini harus didukung dengan adanya sustainable
balance antara kepentinga AS dan nilai-nilai yang dianut.
Current International and Domestic Games
Perbedaan antara karakteristik
pemerintahan Bush dan Obama juga terlihat dari kebijakan-kebijakan luar negeri
Amerika Serikat yang dalam hal ini diinterpretasikan dalam perilaku Amerika
Serikat dalam permasalahan-permasalahan internasional. Perbedaan tersebut
terlihat dalam bagaimana Amerika serikat berupaya untuk menerapkan sikap yang
berbeda pada masa pemerintahan Bush dan pada masa pemerintahan Obama. Hal
tersebut dikarenakan kedua pemimpin tersebut mempunyap power projection
dan karakteristik yang berbeda. Diantaranya yaitu dalam dua permasalahan
internasional terkait konflik Israel-Palestina serta terkait dengan sikap Iran
dalam politik internasional.
o Israeli
– Palestinian Conflict
Konflik antara Israel dan Palestina yang
umumnya dikenal dengan permasalahan Gaza Crisis memaksa Israel untuk
menginisiasikan Operation Cast Lead yang bertujuan untuk memukul mundur
pasukan Hamas yang bermaksud untuk menyerang Israel Selatan dengan menggunakan
roket dan berupaya untuk melemahkan wilayah strategis di Israel tersebut.
Bagaimanapun juga, tindakan ini merupakan sebagian kecil dari upaya-upaya yang
dilakukan selama konflik ini terjadi. Mesir merupakna salah satu negara bagian
Timur Tengah yang turut menginisiasikan kesepakatan untuk menghentikan kontak
senjata antara dua negara tersebut.
Konflik di Timur Tengah ini menjadi
kekhawatiran tersendiri bagi Amerika serikat dikarenakan Amerika Serikat pun
mempunyai kepentingan di kawasan Timur Tengah khususnya yang berkaitan dengan
kebijakan luar negeri Amerika Serikat pasca peristiwa 9/11. Terjadinya
perseteruan antara Israel dan Palestina secara langsung mempengaruhi pula
implementasi politik luar negeri Amerika serikat di Timur Tengah, khususnya
pada masa pemerintahan Obama.
Seperti pada masa pemerintahan Bush,
yang diakui bahwa mengupayakan peredaman konflik anatra Israel dan Palestina
adalah suatu upaya yang cukup sulit untuk dilakukan, maka pada pemerintahan
Obama terdapat suatu kondisi yang selanjutnya menghambat politik luar negeri
Amerika Serikat di Timur Tengah. Di mana di satu sisi, situasi konflik Israel
dan Palestina tersebut berpengaruh terhadap upaya Obama untuk mengupayakan
negosiasi damai dengan sekutu-sekutunya terutama berkaian dengan War on Terror.
Di sisi lainnya, Presiden Obama tidak dapat menghindari konflik tersebut
dikarenakan konflik Israel dan Palestina tersebut sedikit banyak pun
berpengaruh dalam memicu munculnya krisis ekonomi global. Hal ini pun memaksa
Amerika Serikat untuk lebih memperluas pandangan dalam kebijakan politik luar
negerinya, yaitu tidak lagi orientasi pada Iraq seperti pada masa pemerintahan
Bush, tetapi juga di negara-negara lain di kawasan Timur Tengah seperti Israel
dan Palestina.
Apabila Bush lebih berorientasi pada
permasalahan keamanan, maka Obama lebih berorientasi pada permasalahan ekonomi.
Hal ini selanjutnya membuat Obama untuk menolak melakukan langkah-langkah yang
mempunyai porsi tidak lebih besar daripada kebijakan War on Terror. Dalam hal
ini, dengan kata lain dapat diketahui pula bahwa Obama menolak untuk lebih memperhatikan
permasalahan-permasalahan terkait terorisme, Gaza, dan Iran. Obama
memperlihatkan kegagalan dari kekuatan diplomasinya justru ketika Obama
memutuskan untuk tidak terlalu memeperhatikan permasalahan keamanan.
o Iran
Iran merupakan salah satu negara kawasan
Timur Tengah yang selalu berupaya untuk mendominasi kekuasaan di kawasan Timur Tengah. Di mana hal tersebut oleh
Amerika Serikat dianggap mengancam Security Community. Dalam hal ini,
terdapat dua perdebatan bahwa kedua negara, naik Iran maupun Amerika Serikat
ingin menjadi kekuatan yang dominan di kawasan Timur Tengah.
Dalam hal ini, berbeda dengan Bush yang
selalu menggunakan kekuatan hard power yakni kekuatan militer untuk
melakukan intervensi di Timur Tengah, Obama melakukan pendekatan yang berbeda.
Obama, dalam menghadapi kekuatan Iran, menggunakan kekuatan soft power
dan diplomasi. Bagaimanapun, yang dilakukan oleh Obama menuai perdebatan di
kalangan beberapa scholars. Di mana beberapa beranggapan bahwa harus
terdapat keseimbangan antara hard power dan soft power. Namun,
yang dilakukan oleh Obama hanyalah satu sisi, yakni soft power. Kekuatan
soft power yang diterapkan oleh Obama ini selanjutnya disebut dengan smart
power.
Pernyataan
Obama tentang perubahan kebijakan luar negeri Amerika Serikat terkait
hubungannya dengan Iran ini pun diungkapkan oleh Obama ketika melakukan
wawancara dengan salah satu reporter dari Iran. Yakni bahwa Obama mengakui akan
adanya sentimen dari Amerkia Serikat pada pemerintahan sebelumnya (Pemerintahan
Bush) bahwa Iran dianggap sebagai salah satu ancaman terbesar dalam bidang
pertahanan keamanan Amerika Serikat. Namun demikian, pada masa pemerintahannya,
Obama menyatakan bahwa akan ada perubahan kebijakan, di mana kebijakan yang
diterapkan bukan lagi kebijakan yang bersifat offensive tetapi lebih
kepada inisiasi terhadap upaya diplomasi dengan pemerintah Iran. Adapun dengan
kebijakan pemerintahan selanjutnya yang berkaitan dengan Iran sebagai ancaman
keamanan Amerika Serikat, Obama menyatakan bahwa pemerintahannya akan
menghapuskan kebijakan tersebut. Kebijakan luar negeri ini yang selanjutnya
dikenal dengan kebijakan pragmatis dalam politik luar negeri Amerika Serikat.
Berbeda dengan pemerintahan bush yang memepunyai kebijakan luar negeri agresif.
Bagaimanapun, kebijakan Presiden Obama dalam politik luar negeri Amerika
serikat yang baru bertujuan untuk memaksimalkan kekuatan soft power dan
diplomasi termasuk pula dalam kebijakan War on Terror yang
dicanangkannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar