Minggu, 30 Desember 2012

Hubungan Bilateral AS dan China

Gambaran Umum
Hubungan AS terhadap Cina menjadi penting dalam memperluas kerjasama dan memperkuat posisi AS terhadap kekuatan baru yang muncul di setiap wilayah di dunia. Pertumbuhan ekonomi Asia yang drastis membuka peluang AS untuk memperkuat keterlibatannya di kawasan ini melalui organisasi regional, dialog baru, serta diplomasi tingkat tinggi. Tidak hanya itu, kemajuan militer Cina membuat AS dan Sekutu berusaha memantau Cina dan memastikan diri bahwa kemajuan militer Cina tidak akan berdampak buruk terhadap mereka. Langkah yang tepat yaitu mendorong Cina untuk berkontribusi terhadap perdamaian, keamanan, dan kemakmuran secara global. Cara ini terlihat dari upaya AS untuk mendorong Cina menurunkan perselisihan dengan Taiwan. Dari sini dapat diketahui bahwa bila Cina sepakat menjunjung perdamaian maka AS tidak perlu khawatir terhadap kekuatan Cina dikemudian hari.


A.        Ekonomi
Setelah tiga tahun mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat, China berkembang menjadi  negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia. AS berusaha menjalin kerjasama untuk menyeimbangkan ekonomi global dan  menghilangkan hambatan dagang serta investasi bilateral diantara kedua negara. AS berusaha mendorong China untuk membuka pasar dan peluang investasi yang baru bagi bisnis internasional. Hasilnya adalah China bersedia untuk bergabung dengan World Trade Organization (WTO) pada bulan Desember 2001. Bergabungnya China dengan WTO meningkatkan hubungan dagang antara China dan AS. Ekspor AS ke China meningkat sebanyak 81 persen dalam tiga tahun pertama keanggotaan China di WTO, dibandingkan hanya sejumlah 34 % pada tiga tahun terakhir sebelum China bergabung dengan WTO. Di lain sisi, import dari China meningkat 92% dalam tiga tahun pertama keanggotaan China di WTO yang sebelumnya hanya berjumlah 46% di tiga tahun sebelumnya. Investasi  AS di China juga berkembang sedikit demi sedikit di tahun 1980. Menurut data dari Kementrian Perdagangan China, antara tahun 1979 dan 1989 investasi langsung AS di China hanya berjumlah 1.7 juta dolar. Namun ketika China melakukan reformasi ekonomi membuka berbgai sektor bagi investasi asing, investasi AS mulai meningkat drastis. AS merupakan negara penghasil manufaktur terbesar di dunia, menghasilkan 20 persen manufaktur global. Meskipun manufaktur China hanya menyumbang sejumlah 8 persen, namun ekspansi perdagangan China sejak 2001 cukup mempengaruhi lapangan pekerjaan Amerika. 
Peningkatan ketergantungan ekonomi antara AS dan China menjadi jelas saat krisis keuangan melanda dunia. China memegang hutang tertinggi AS sejumlah 1.7 triliun dolar , yang mengguncang ekonomi AS. China juga merupakan patner dagang terbesar kedua AS. Peningkatan pengaruh China di level negara ditandai oleh event lainnya, yaitu Beijing menjadi tuan rumah  Olympic Games di bulan Agustus, kerjasama dalam Six-Party Talks mengenai nuklir Korea Utara, dan peningkatan peran China dalam penjagaan perdamaian internasional. Para ahli menganggap bahwa AS harus memperhalus pendekatannya dalam isu HAM, energy, dan lingkungan untuk memastikan kerjasama China dalam mitigasi krisis ekonomi global.
Ekonomi China juga bergantung pada perusahaan-perusahaan negara barat. Perdagangan asing China dipengaruhi oleh investasi perusahaan asing, dan sekitar 60% total ekspor China  dihasilkan oleh perusahaan yang dibiayai oleh pihak asing. Semua hal tersebut membuat China menjadi sensitif terhadap kenaikan dan penurunan ekonomi internasional, khususnya ekonomi AS.  Jika ekonomi AS mengalami masalah maka akan mengganggu pertumbuhan ekonomi China. China telah menjadi pasar terbesar bagi AS.  China mendominasi sebagian besar wilayah konsumen. Oleh karena itu, sangat sulit untuk mengesampingkan China dari globalisasi ekonomi.
China memiliki kebijakan mata uang yang menyebabkan ketegangan dengan AS. Dalam hal mata uang, China sengaja memanipulasi nilai mata uang dalam rangka untuk meningkatkan ekspor.  Mata uang China diturunkan sebanyak 40% dari dolar AS. Pembicaraan mengenai masalah ini telah mendominasi pertemuan-pertemuan AS dan China. Kementrian Keuangan AS menyatakan bahwa penurunan nilai mata uang ini berpengaruh pada lapangan pekerjaan di AS dan merugikan kompetisi barang dan jasa global. Dari pihak China, China menolak mengakui bahwa penurunan nilai mata uang China yang menyebabkan ketidakseimbangan perdagangan global dan menganggap AS telah mengkambing-hitamkan masalah ekonomi global kepada negaranya[1].
Model ekonomi yang berbeda dari kedua negara telah menyebabkan ketidakpercayaan diantara keduanya. AS percaya bahwa China telah mencapai keberhasilan ekonomi dengan cara yang berbeda, dan tidak selalu adil dalam mematuhi aturan. Kritik tersebut menunjukkan ketergantungan China yang kuat China pada ekspor untuk pertumbuhan dan kebijakan pemerintah RRC untuk menjaga mata uang China agar secara artifisial tetap rendah, untuk membuat ekspor China lebih menarik bagi negara-negara pengimpor. Poin lain adalah pertentangan termasuk subsidi langsung dan tidak langsung dari  pemerintah RRC dan bentuk-bentuk dukungan bagi perusahaan milik negara, serta ketidakmampuan atau keengganan untuk mencegah pelanggaran kekayaan intelektual asing oleh entitas China. Bagi China, para pejabat RRC kadang-kadang mengkritik Amerika Serikat atas tingginya tingkat konsumsi, tingkat tabungan rendah, dan utang jangka panjang. Pejabat China juga mengkritik kebijakan moneter longgar Amerika Serikat.
Kondisi ini menyebabkan adanya ketidakseimbangan global. Di saat Amerika mengalami defisit dalam perdagangan dunia, tingginya selisih impor dibandingkan ekspor; Cina berada di posisi yang lain. Meski pada akhirnya sempat tergerus krisis keuangan global, secara umum perdagangan Cina mencatat surplus. Melalui G20, AS menjadikan isu ini sebagai gerbong arus utama yang dibahas. Salah satu upaya efektif untuk menstimulasi ekonomi global lebih bergerak, stabil, dan tumbuh, yakni dengan meminimalisasi kesenjangan dalam hal ketidakseimbangan global tersebut.

Strategi AS : Strategic Economy Dialogue (SED)
Strategic Economic Dialogue (SED), yang merupakan salah satu agenda turunan dari Kongres tahunan AS dan China. Dalam pertemuan yang berlangsung, kedua negara bersepakat untuk terus menjalin kerja sama dalam menjaga stabilitas ekonomi dunia, khususnya ekonomi kedua negara. SED dipimpin oleh Sekretaris Negara (sisi strategis) dan Menteri Keuangan (sisi ekonomi), dan di sisi Cina oleh Anggota Dewan Negara untuk urusan luar negeri (jalur strategis) dan Wakil Premier untuk perdagangan luar negeri (track ekonomi).
 SED  meliputi perwakilan tingkat tinggi dari beberapa lembaga lainnya, dan berfungsi sebagai payung bagi berbagai sub-dialog. SED memberikan kesempatan yang mendalam
mengenai diskusi tentang berbagai masalah jangka panjang dan jangka pendek .
Tujuan dari SED ini adalah untuk memajukan hubungan ekonomi AS-China dan mendorong transisi lanjutan ekonomi China dengan sebuah keterlibatan global bertanggung jawab. Beberapa pencapaian dari SED meliputi[2]:
a.       Meningkatkan akses pasar bagi AS di China, termasuk untuk produk AS dan industri jasa keuangan, bekerja sama pada pengembangan batubara bersih baru teknologi, dan memperkuat kerjasama hak atas kekayaan intelektual (Mei 2007)
b.      Meningkatkan kerjasama keamanan produk, termasuk obat, makanan, bahan kimia, dan produk konsumen; komitmen pada reformasi keuangan lebih lanjut; dan diskusi tentang energi dan kerja sama lingkungan; kemajuan perjanjian investasi bilateral, dan mempromosikan transparansi dalam aturan keputusan administratif (Desember 2007)
c.       Persetujuan Ten-Year Energy and Environment Cooperation Framework, termasuk pembentukan komite pengarah untuk panduan kerjasama (Juni 2008)
d.      Pembahasan strategi untuk mengelola risiko ekonomi makro dan mengatasi krisis keuangan global (Desember 2008).
  1. Bidang Politik
Di bidang politik hubungan antara AS dan China lebih terkosentrasi dalam upaya penegakan HAM di wilayah China ini juga terkait dengan tujuan dalam National Security Strategy (NSS) Amerika Serikat yang mengedepankan aspek nilai (values) yaitu demokrasi dan HAM. Adapun implementasi dari NSS terhadap hubungan antara AS dengan China disampaikan dalam kasus pelanggaran HAM di Tibet dan pengukuhan status Taiwan oleh China.
·         Kasus Taiwan
Hubungan antara AS dengan China diwarnai dengan hubungan pragmatis di bidang perpolitikan terutama mengenai intervensi China ke Taiwan yang dianggap sebagai pelanggaran terhadap kedaulatan negara dan sebaliknya oleh pemerintah China justru menuding keikutsertaan AS merupakan bentuk pelanggaran kedaulatan Taiwan terhadap pengakuan China, karena telah mendukung dan mengakui kedaulatan Taiwan serta memberikan bantuan militer sebagai bentuk dukungan tersebut.
Adapun upaya-upaya yang dilakukan pemerintah AS, yaitu mengupayakan China untuk memberikan hak kemerdekaan yang diakui secara de facto dan de jure terhadap pemerintahan pemerintahan Taiwan, hal ini disampaikan pemerintah AS terutama dalam isu-isu pembahasan HAM di ranah PBB dan  dalam pertemuan bilateral kedua negara. Momentum terhadap kasus ini terakhir disampaikan melalui Kongres pertemuan ke 110 dengan agenda the election of a new, pro-engagement government in Taiwan pada Maret 2008, bersamaan dengan ancaman boikot terhadap Olympiade Beijing.
Adapun upaya intervensi ini dilakukan untuk membujuk China dan dengan adanya persetujuan terhadap pelepasan Taiwan dari wilayah China Selatan memberikan askes strategis AS yang lebih luas di wilyah Asia Timur dan Asia Tenggara.
·         Pelanggaran HAM di Tibet
Dalam kaitnaya dengan kasus pelanggaran HAM di Tibet, AS lebih mengedepankan aspek intervensi terhadap kasus ini, karena dalam hal ini China dianggap telah melakukan pelanggaran berat terhadap HAM ksusnya dalam penanganan masalah teritorial bagian Tibet dengan melakukan tindakan militer dan penangkapan terhadap aktivis keagaman yang dinilai melanggar komitmen pemerintahan China.
Adapun upaya yang telah dilakukan AS yaitu mengintervensi China melalui suatu kerangka kebijakan yaitu The Tibetan Policy Act of 2002 yang secara umum mengarahkan eksekutif China untuk mengupayakan adanya dialog antara pemerintahan China dengan Dalai lama dan wakil-wakilnya yang menyangkut perbaikan hubungan antara kedua negara dan mengupayakan adanya pembebasan tahanan politik dan agama Tibet di China, mendukung pembangunan ekonomi, pelestarian budaya, kelestarian lingkungan, dan tujuan lainnya di Tibet, dan melaksanakan kegiatan lain demi "dukungan dan aspirasi terhadap rakyat Tibet untuk melindungi identitas mereka."[3] Selain itu adanya peringatan terhadap pemerintah China atas indikasi pelanggaran HAM melalui agenda perundingan antara pemerintah AS dan China yang disampaikan melalui agenda a crackdown against demonstrations in Tibet pada Maret 2008 pada Kongres relasi antara China-AS ke 110 di Beijing.[4]
Adanya keikutsertaan AS dalam upaya perdamaian antara pemerintahan China dengan Tibet merupakan upaya AS dalam memperluas pengaruhnya terhadap geografis China dan dapat meningkatkan reputational power di tubuh China itu sendiri melalui upaya-upaya perdamaian dan penyelesaian sengketa.
Secara umum hubungan politik antara AS dengan China dalam hal ini mengalami eskalasi terutama terhadap isu Taiwan dan Tibetan namun atas pertimbangan asspek strategis China sebagai mitra potensial AS di bidang ekonomi, sosial, dan militer serta atas kepemilikan veto pada PBB, pemerintah AS mengupayakan tetap menjaga hubungan strategis tersebut, ini ditunjukan melalui Congress Research Service 2009, mengenai kelanjutan kerjasama yang disepakati kedua negara[5].
  1. Bidang Militer
Kebijakan di bidang militer oleh AS di China sebagian besar dipengaruhi oleh persepsi tentang ancaman terutama terhadap perkembangan kekuatan militer China, untuk memantau pergerakan militer khususnya di Asia Timur AS membentuk suatu badan koordinasi khusus yang menangani stabilitas dan persepsi AS di regional Asia Timur yaitu dengan membentuk Advance System and Concept Office (ASCO). ASCO dibentuk pada 2001dengan tujuan khusus di bidang keamanan terutama terhadap resiko penggunaan senjata nuklir jangka panjang dan penggunaan senjata balistik di Asia.
Adapun upaya yang dilakukan AS melalui National Security Strategy yaitu strategi arms control kepada China untuk menjamin keamanan strategis dan kepentingan AS di wilayah Asia utamanya dan di dunia secara umum dari ancaman modernisasi militer China dengan cara[6]:
1.      Memonitor dan bekerjasama dengan China terutama untuk penggunaan bahan nuklir sebagai senjata konvensional, yaitu AS berupaya mencegah China membuat senjata nuklir dan meyakinkan penggunaan nuklir hanya sebagai tujuan damai dan media detterance dengan menggunakan kekuatan institusional dari AS yaitu ratifikasi kembali China terhadap Nuclear melalui Non-Proliferation Treaty (NPT).
2.      Pendekatan dan kerjasama dengan militer China, yaitu AS melakukan kerjasama dengan militer baik angkatan Darat, laut maupun udara, yang bertujuan untuk memantau modernisasi kekuatan militer China yang disampaikan melalui Joint Military Operations Program yang diusung oleh Amerika dan China dan mengikuti kebijakan tersebut dengan mengupayakan adanya kerjasama “open sky” yaitu dimana militer AS dapat terbang di wilayah China dengan tujuan damai dan sebaliknya. Adapun tujuan utamanya untuk memantau kekuatan yang diperkirakan mengancam dominasi kekuatan militer AS terutama pengembangan teknologi senjata dan penggunaan rudal balistik antar benua termasuk rudal angkasa (China’s anti-satellite weapon test).
Tujuan umum dari adanya kerjassama terhadap China di bidang militer yaitu untuk mendorong China mengedepankan perdamaian dan meyakinkan kepemilikan persenjataan China tidak digunakan sebagai ancaman beserta dengan adanya kosentrasi pengamanan senjata di wilayah Asia terutama China juga merupakan upaya AS untuk mendapatkan akses militer ke wilayah Korea Utara beserta Iran jika AS berhasil menjalin kerjsama bidang militer dengan China, karena China memiliki akses yang lebih terbuka dengan negara-negara tersebut. adapun aktor institusi yang berperan dalam mendukung kebijakan ini diantaranya:
a.       ASCO yang bekerjasama dengan Insitute for Defense Analysis (IDA) terhadap analisis dan pemantauan terhadap militer China, badan ini juga membantu dalam pembuatan rancangan strategi kepada Department of Defense AS.
b.      International Automic Energy Agency (IAEA) yang berperan mamberikan tekanan terhadap penggunaan nuklir China sebagai senjata konvensional dan mendorong upaya ratifikasi China terhadap NPT.
c.       Badan militer AS, melalui angkatan bersenjata baik angkatan darat, laut, udara, dan badan antariksa nasional kedua negara.


[1] Steenwyk, Jason Van. 2008. Will There Be a U.S. – China Currency War? <http: //www.greaterchinafund. com/ newsmedia/2011/China%20Currency%20Dispute.pdf>.

[2] Joint U.S – China Fact Sheet sebagai Laporaran SED ke 5. Desember 2008. U.S. Treasury Department. Diunduh dari  http://www.treasury.gov/initiatives/Pages/2008-dec.aspx (12 Januari 2012)
[3] Susan V.Lawrence dan Thomas Lum dalam CRS Report R41108, U.S.-China Relations: Policy Issue.
[4] ibid
[5] Ewen MacAskill and Tania Branigan. 2009 “Obama Presses Hu Jintao on Human Rights During White House Welcome,” Guardian.co.uk,
[6] Brad Roberts. 2001. China-US nuclear relations: what relationship best serves U.S. Interest?. Institute for Defense Analysis

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mengenai Saya

Foto saya
International Relations University of Brawijaya Malang

Blogroll