Minggu, 30 Desember 2012

mencemaskan kemacetan ilmu - ilmu sosial kritis


Menurut pemikiran logika saya jika dihubungkan dengan sejarah kapitalisme dan demokrasi liberal yang cenderung tidak stabil dan dipenuhi dengan periodesasi krisis itu, tampaknya apa yang dikemukakan Francis Fukuyama tersebut jelas kontroversial. Ditambah lagi dengan fakta ancaman krisis dan depresi akibat krisis keuangan global di awal abad 21 ini. Pertanyaannya apakah akhir sejarah ini harus dilalui dengan berbagai macam krisis? Krisis yang secara langsung maupun tidak langsung membawa penderitaan bagi ummat manusia, utamanya adalah masyarakat dunia ketiga yang hingga kini masih berkelit dengan permasalahan kemiskinan dan kelaparan.  Karena secara empiris, masyarakat menengah kebawah dan miskin adalah yang selalu menjadi korban paling telak dari setiap krisis, terlepas dari apa dan dari mana penyebabnya. Karena merekalah kelompok yang paling sensitif terhadap instabilitas dan stabilitas penentuan semua yang berhubungan dengan harga-harga kebutuhan pokok mereka.

Tampaknya apa yang dimimpikan Fukuyama sampai saat ini mampu memupuk kepercayaan diri yang kelewat tinggi di antara sebagian besar pemuja sistem kapitalisme dan liberalisme. Hasilnya adalah krisis finansial yang mengarah pada resesi bahkan depresi perekonomian global yang bukan hanya berdampak pada ekonomi saja, melainkan pada situasi politik, sosial dan keamanan.
Pertanyaannya selanjutnya adalah apakah krisis financial global merupakan wujud dari krisis sistem kapilatisme? Fenomena krisis Subprime mortgage di Amerika bisa menjustifikasi hal ini. Jika kita amati, spirit yang melandasi perilaku ekonomi di sektor perumahan Amerika sama persis dengan spirit sistem ekonomi kapitalis. Benang merahnya adalah serahkan semua pada swasta tanpa campur tangan dari pemerintah. Spirit serta keterampilan swasta dalam melakukan akumulasi modal dan ekspansi ekonomi merupakan salah satu esensi kapitalisme. Itu semua didasarkan atas rasionalitas formal, atau sebuah sistem logika yang terpusat pada tujuan maksimalisasi produksi (bagi manajer), dan maksimalisasi keuntungan serta akumulasi modal (bagi pemilik modal).
Hubungan ekonomi kapitalis (yang berwujud liberalisasi ekonomi) dengan demokrasi liberal sama kompleksnya dengan definisi esensial dari kedua terminologi tersebut. Akan tetapi, teori dan definisi akan mengikuti struktur kekuatan wacana yang menghegemoni saat itu.  Di pentas studi ilmu politik dan ekonommi dewasa ini, demokrasi liberal (elektoral-prosedural) dan ekonomi kapitalis telah memenangi pertarungan pemaknaan tentang konsep demokrasi liberal dan sistem ekonomi.
Secara teoritis, konsep hubungan kedua ideologi tersebut diikat oleh mata rantai kunci yang disebut dengan masyarakat sipil (civil society). Dalam rumusan demokrasi liberal, masyarakat sipil muncul sebagai mata rantai kunci antara demokrasi dengan liberalisme ekonomi. Cara terbaik untuk memperkuat masyarakat sipil adalah dengan mengurangi peran negara dan memperluas wilayah kekuatan pasar seperti anjuran program penyesuaian struktural (Structural Adjusment Program) yang juga diinisiasi oleh International Monetary Faund (IMF) selama lebih dari satu dasawarsa terakhir ini. Agenda-agenda politik ekonomi tersebut semakin lengkap ditambah dengan usaha deregulasi, privatisasi dan liberaliasi sektor ekonomi tanpa kecuali.
Agenda-agenda tersebutlah yang pada akhirnya menggelincirkan ekonomi dunia ke lubang krisis seperti yang sedang terjadi saat ini. Sehingga Hipotesis Fukuyama yang berusaha mengukuhkan sistem ekonomi kapitalis dan demokrasi liberal sebagai bentuk final dari pemerintahan umat manusia patut dipertanyakan. Jika benar Ideologi kapitalis dan demokrasi liberal adalah pasangan sejati, maka masih bisa diharapkankah demokrasi liberal di saat sistem kapitalis berada diambang keruntuhan? Pertanyaan ini tentunya akan membuka ruang yang lebih luas tentang rumusan sistem politik dan ekonomi masa depan yang lebih menjanjikan di luar sistem kapitalis dan demokrasi liberal.
Faktor lain, yang saya kira lebih penting, ialah paradigma positivistic yang sudah bertahan-tahun menjangkit pemikir-pemikir sosial. Ketidakpercayaan diri dalam menggunakan kajian deskriptif ataupun analitis non statistik sudah lama tumbuh dalam pikiran para ahli ilmu pengetahuan sosial. Ejekan-ejekan yang sering saya baca di buku Filsafat Ilmu (misal Buku Filsafat Ilmu Populer Karya Jujun Suryasumantri) oleh para pakar saya kira telah memicu penyakit ketidakpercayaan diri tersebut. Ejekan bahwa tanpa matematika ataupun statistik Ilmu Sosial kurang sahih menurut saya sangat tidak beralasan.Logika Ilmu sosial sangat berbeda. Obyek ilmu sosial tidak seperti obyek pengetahuan alam yang cenderung tetap. Obyek ilmu alam tidak memiliki relasi yang dinamis dengan variabel di luarnya. Relasi tersebut cenderung tetap. Berbeda dengan kajian Ilmu Sosial yang mempunyai relasi yang tidak tetap terhadap variabel-variabel di luarnya. Seandainya seorang manusia hanya dipengaruhi oleh variabel-variabel tetap diluarnya dan tidak berusaha untuk membalikan stimulus yang ada yang barangkali kemudian membalik menanggapinya dengan respon secara timbal balik, saya kira itu bukan manusia tapi lebih dekat dengan robot. Manusia yang harus menunggu untuk mendapat stimulus untuk dapat bertindak, sekali lagi, saya kira itu bukan manusia. Dan saya juga menganggap aneh apabila Bordeu memiliki rumusan yang pasti tentang tindakan “praksis manusia”.
Kecenderungan epistemologis yang muncul baru-baru ini merupakan reaksi ketidakpuasan dari patron metodologi yang ada. Misal keberanian para ahli antropologi untuk memakai metode grounded research merupakan cikal bakal “pemberontakan tersebut”. Walaupun ada sedikit “malu-malu” untuk menggunakannya.
Apabila ada ilmuwan sosial yang hanya meneliti tetapi tidak mengembangkannya, menurut saya sifat ilmu sosial memang tak
pasti. Berbagai kesimpulan bisa terjadi. Tapi selama ilmuwan berpegang
pada kaidah keilmuan dan merasa yakin pada datanya, dan ia telah
bertindak objektif berdasarkan kaidah itu, ia tak bisa disebut sebagai
ilmuwan pesanan atau ilmuwan yang tidak netral. Kunci dari teori kritis terletak pada upaya pembebasan (pencerahan). Ilmuwan tidak selayaknya mengacuhkan masyarakat –demi mengejar obyektivitas ilmu. Ilmuwan haruslah menyadari posisi dirinya sebagai aktor perubahan sosial. Karena itu, teori kritis menolak tegas positivisme, dan ilmuwan sosial wajib mengkritisi masyarakat, serta mengajak masyarakat untuk kritis. Sehingga, teori kritis bersifat emansipatoris. Emansipasi mutlak diperlukan, untuk membebaskan masyarakat dari struktur yang menindas. “Kesadaran palsu” senantiasa ada dalam masyarakat, dan itu harus diungkap dan diperangi. Selain itu, ciri lain dari studi kritis adalah interdispliner. Upaya yang paling aman (lebih tepat) dalam menggolongkan ilmuwan tertentu menurut pemikiran saya, rupanya adalah dengan menempatkan ilmuwan dalam posisinya sendiri. Dengan mendasari dari pemikiran interaksionisme simbolik, bahwa setiap orang adalah spesifik dan unik. Demikian halnya ilmuwan, sebagai seorang manusia, tentu memiliki pemikiran yang unik dan spesifik. Namun hal ini bukan menempatkan ilmuwan egpis, tidak mau bekerja sama dan tidak tercampuri oleh sosiolog lain. Karena itu yang lebih tepat dilakukan adalah dengan mencari jaringan pemikiran (teori) antar ilmuwan, bukan menggolong-golongkan. Bila ilmuwan bertindak seperti itu, ilmu tidak akan macet dan justru semakin dikembangkan dalam masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mengenai Saya

Foto saya
International Relations University of Brawijaya Malang

Blogroll