Sabtu, 29 Desember 2012

Sistem ekonomi dan pembangunan Jepang


A.               A. Sejarah Pembangunan Ekonomi Jepang              
                        Pembangunan ekonomi Jepang dimulai pada masa Restorasi Meizi pada abad ke 19. Dimana pada saat itu Jepang aktif untuk mengejar ketertinggalannya dari Barat. Contohnya seperti membangun jembatan, jalan  dan sebagainya. Pemerintah Meiji juga menciptakan lingkungan kondusif bagi para pengusaha swasta untuk berinvestasi sekaligus berbisnis di Jepang. Sehingga impaknya adalah banyak pabrik – pabrik dan galangan kapal dijual murah pada pengusaha local. Pengusaha ini akhirnya menjadi kaya dan cepat berkembang yang sering disebut dengan Zaibatsu.
            Zaibatsu banyak mengontrol aktivitas ekonomi dan industri Jepang. Pada awal Perang duania II, Big Four atau empat perusahaan terbasar dan terkaya di Jepang yaitu Mitsubishi, Mitsui, Sumitomo dan Yasuda memiliki control lebih dari 60 % dari bursa efek, 30% dari pertambangan Jepang dab 50 % dari pasar mesin dan bahan baku[1]. Karena besarnya control yang dilakukan Zaibatsu membuat tingkat control terhadap Pemerintah Jepang juga besar dalam segala kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah Jepang.
            Perang dunia II telah menghancurkan perekokonomian Jepang. Akan tetapi, pada tahun 1960-an hingga akhir 1980-an, Jepang sebagai Asian Miracle.  Zaibatsu banyak dikritik dan banyak yang ingin membubarkanny, tetapi zaibatsu justru berhasil berkembang menjadi Keiretsu dengan keiretsu utama adalah Mitsubishi, Sumitomo, Fuyo, Mitsui, Da – Ichi Kangyo dan grup Sanwa.
B.                Asian Miracle
                        Selama keajaiban ekonomi pasca perang dari tahun 1960 sampai tahun 1990, Jepang mengalami pertumbuhan ekonomi yang besar - pada rata-rata 10 persen per tahun pada tahun 1960, 5 persen pada 1970-an, dan 4 persen pada tahun 1980. Pertumbuhan di 1990 mulai menurun karena sebagian besar disebabkan oleh “bubble economy” di akhir 1980-an, dan jatuhnya Bursa Saham Tokyo di tahun 1990-1992. Periode ini disebut sebagai "Lost Decade" di Jepang.
Kesuksesan di Jepang dalam Asian Miracle disebabkan oleh : (1) investasi dalam negeri yang tinggi (karena tingginya tingkat tabungan dalam negeri) dan (2) pertumbuhan human capital[2] (perbaikan produktivitas dalam bidang agrikultrul) yang sangat cepat dan berfungsi sebagai bahan bakar pertumbuhan.  Karena meningkatnya pertumbuhan human capital maka meningkat pula angkatan kerja yang berpendidikan dan semakin efektifnya sistem administrasi publik. Selain itu, lambatnya pertumbuhan penduduk menjadi salah satu aspek yang mendukung kesuksesan pertumbuhan di Jepang.
Tentunya keberhasilan ini tidak lepas dari peran pemerintah dalam menerapkan atau menjalankan kebijakan pembangunan yang fundamental untuk mencapai pertumbuhan ini. (1) Kebijakan untuk mendorong kinerja sistem perbankan agar dapat dengan mudah diakses oleh non-tradisional saver tentunya akan meningkatkan tabungan masyarakat. Selain itu diperlukan juga campur tangan pemerintah dalam membangun pasar keuangan yang kuat, dan juga menarik investasi dalam dan luar negeri dengan menjaga agar tingkat bunga deposito rendah, juga menjaga loan deposit ratio (LDR) pada ambang atas untuk meningkatkan keuntungan. (2) Kebijakan dalam pendidikan yang terfokus pada pendidikan dasar dan menengah tentunya akan meningkatkan keterampilan pada para angkatan kerja (3) Dan kebijakan dalam bidang agrikultrul yang menekankan pada aspek produktivitas dan tidak mengenakan pajak pada penduduk pedalaman (kelas ekonomi bawah) tentunya sangat mendukung terciptanya penurunan ketidakmerataan ekonomi. (4) Sedangkan dalam kebijakan bidang industri, pemerintah memberikan subsidi pada beberapa industri terpilih, melindungi industri substitusi impor dan mendorong terciptanya industri yang berorientasi ekspor.
C.                Lost Decade
Pertumbuhan di 1990 mulai menurun karena sebagian besar disebabkan oleh “bubble economy” di akhir 1980-an, dan jatuhnya Bursa Saham Tokyo di tahun 1990-2000-an. Periode ini disebut sebagai "Lost Decade" di Jepang. Pertumbuhan ekonomi yang kuat dari tahun 1980-an tiba-tiba berakhir pada awal 1990-an. Pada akhir 1980-an, kelemahan dalam sistem ekonomi Jepang telah memicu gelombang besar spekulasi oleh perusahaan Jepang, bank dan perusahaan sekuritas. Kombinasi nilai tanah yang sangat tinggi dan suku bunga sangat rendah secara singkat menyebabkan posisi di mana kredit mudah tersedia dan sangat murah. Hal ini menyebabkan pinjaman besar, hasil yang diinvestasikan sebagian besar dalam saham domestik asing dan surat berharga.
Perjanjian Plaza 22 September 1985 mengawali terjadinya bubble economy[3]. Negara – negara di Eropa seperti Perancis, Jerman dan Inggris sepakat untuk melakukan depresiasi dolar AS terhadap yen Jepang dan Deutsche Mark Jerman melalui intervensi di bursa valuta asing. Sebagai akibat Perjanjian Plaza, nilai yen jadi lebih kuat dengan cepat. Sebelum Perjanjian Plaza, yen diperdagangkan di bursa valas Tokyo pada 242 yen per dolar AS. Pada akhir 1985, yen telah menjadi begitu kuat hingga melewati 200 yen per dolar AS[4]. Nilai yen menguat hingga 128 yen per dolar AS pada awal tahun 1988.[5]
Hingga Februari 1987, tingkat diskonto resmi diturunkan sebanyak 5 kali sebagai kebijakan mengatasi tingginya nilai yen, serta untuk membantu industri manufaktur dan industri ekspor dalam negeri Jepang yang telah mengalami penurunan daya saing akibat tingginya nilai yen. Pada waktu itu, tingkat diskonto resmi diturunkan hingga 2,5%.  Akibat menguatnya nilai yen secara drastis, di pasar uang terjadi kerugian besar dalam aset denominasi dolar AS seperti obligasi pemerintah Amerika Serikat. Kerugian tersebut mendorong kembalinya dana-dana ke dalam negeri yang tidak memiliki risiko valuta asing. Sebagai akibatnya, harga saham di bursa saham dan harga tanah di pasar realestat meningkat. Kenaikan nilai aset dan laba di atas kertas membuat individu dan perusahaan makin memperbesar investasi. Tingginya nilai jaminan dan nilai aset membuat bank-bank makin memperbesar pinjaman hingga terjadi gelembung ekonomi..
Menyadari bahwa gelembung ekonomi berkelanjutan, maka Departemen Keuangan dengan tajam menaikkan suku bunga pada akhir tahun 1989. Ini merupakan kebijakan pengetatan moneter oleh Pemerintah Jepang. Hal ini juga menyebabkan krisis utang; sebagian besar utang-utang yang telah dipinjam sebelumnya sampai semakin memburuk, yang pada gilirannya menyebabkan krisis di sektor perbankan, dengan banyak bank yang ditalangi oleh pemerintah.
D.                Krisis Ekonomi 1997
Asian Miracle yang sejak tahun 1960an menjadi kebanggaan Asia Timur runtuh ketika pada 2 Juli 1997, Baht Thailand terdepresiasi hingga 25 % terhadap dolar AS dan menimbulkan hyper inflasi. Investasi dan pertumbuhan mengalami stagnasi, bahkan negatif. Angka pengangguran dan kemiskinan meningkat tajam. Dalam waktu singkat, krisis ekonomi ini segera menyebar ke negara-negara tetangganya seperti Indonesia, Malaysia, Korea dan Filipina bahkan hingga ke Rusia dan Amerika Latin. Krisis yang terjadi memaksa negara-negara ini, kecuali Malaysia, untuk meminta bantuan kepada International Monetary Fund (IMF) sebagai rezim moneter yang diharapkan dapat membantu setiap anggotanya untuk dapat keluar dari krisis. Berbagai resep kebijakan yang ditawarkan IMF ternyata tidak berhasil membawa negara-negara ini keluar dari krisis.
Berikut ini adalah grafik pertumbuhan Jepang sejak masa Asian Miracle hingga masa krisis Moneter 1997 sampai tahun 2007 :
              JapanFundR1.gif
Gambar 1.1 Grafik Pertumbuhan Ekonomi Jepang 1956-2007
                        Dari grafik tersebut dapat dijelaskan bahwa pertumbuhan ekonomi dari tahun 1956 hingga tahun 1990-an meningkat cukup drastic dan stabil. Akan tetapi, pada tahun 1991 hingga 2002 tingkat investasi menurun sekitar kurang lebih 3 persen, sedangkan angka angkatan kerja dan produktivitas mencapai di bawah nol persen. Pada tahun 2003 hingga 2007 angka investasi menurun juga dengan angka penurunan mencapai 5 %. Akan tetapi pada tahun 2003 jumlah produktivitas meningkat grafiknya menjadi diatas nol persen atau tepatnya 5 %. Sedangkan angka angkatan kerja jumlahnya semakin menurun dengan angka dibawan nol persen sebanyak -3% yang berarti menurun 2% dari angka sebelumnya yaitu -1%.

Daftar Pustaka :
Sen, Amartya. 1998, “Human Development and Financial Concervatism.” World Development, Vol. 26, No.4.
World Bank, 1993. The East Asia Miracle: Economic Growth and Public Policy,  Oxford University Press, New York.


[1]Economy Watch edisi 15 Maret 2010. < http://www.economywatch.com/world_economy/japan/?page=full>
[2] Amartya Sen. 1998, “Human Development and Financial Concervatism.” World Development, Vol. 26, No.4, p.733-742.
[3] Justin Mc Curry, 2008. The Lost Decade in Japan.<http://www.guardian.co.uk/business/2008/sep/30/japan.japan>, diakses pada tanggal 4 April 2012 pukul 16.00 WIB.
[4] James Fallows, 2011. The Myth of Japans Lost Decades, <http://www.theatlantic.com/international/archive/2011/02/the-myth-of-japans-lost-decades/71741/>, diakses pada tanggal 4 April 2012 pukul 16.00 WIB.
[5] Christopher Wood, 1992. The Bubble Economy: Japan's Extraordinary Speculative Boom of the '80's and the Dramatic Bust of the '90', The Atlantic Monthly Press,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mengenai Saya

Foto saya
International Relations University of Brawijaya Malang

Blogroll