A. A.
Sejarah
Pembangunan Ekonomi Jepang
Pembangunan
ekonomi Jepang dimulai pada masa Restorasi Meizi pada abad ke 19. Dimana pada
saat itu Jepang aktif untuk mengejar ketertinggalannya dari Barat. Contohnya
seperti membangun jembatan, jalan dan
sebagainya. Pemerintah Meiji juga menciptakan lingkungan kondusif bagi para
pengusaha swasta untuk berinvestasi sekaligus berbisnis di Jepang. Sehingga
impaknya adalah banyak pabrik – pabrik dan galangan kapal dijual murah pada
pengusaha local. Pengusaha ini akhirnya menjadi kaya dan cepat berkembang yang
sering disebut dengan Zaibatsu.
Zaibatsu
banyak mengontrol aktivitas ekonomi dan industri Jepang. Pada awal Perang
duania II, Big Four atau empat perusahaan terbasar dan terkaya di Jepang yaitu
Mitsubishi, Mitsui, Sumitomo dan Yasuda memiliki control lebih dari 60 % dari
bursa efek, 30% dari pertambangan Jepang dab 50 % dari pasar mesin dan bahan
baku[1].
Karena besarnya control yang dilakukan Zaibatsu membuat tingkat control
terhadap Pemerintah Jepang juga besar dalam segala kebijakan yang dibuat oleh
Pemerintah Jepang.
Perang
dunia II telah menghancurkan perekokonomian Jepang. Akan tetapi, pada tahun
1960-an hingga akhir 1980-an, Jepang sebagai Asian Miracle. Zaibatsu banyak dikritik dan banyak yang
ingin membubarkanny, tetapi zaibatsu justru berhasil berkembang menjadi
Keiretsu dengan keiretsu utama adalah Mitsubishi, Sumitomo, Fuyo, Mitsui, Da –
Ichi Kangyo dan grup Sanwa.
B.
Asian
Miracle
Selama
keajaiban ekonomi pasca perang dari tahun 1960 sampai tahun 1990, Jepang
mengalami pertumbuhan ekonomi yang besar - pada rata-rata 10 persen per tahun
pada tahun 1960, 5 persen pada 1970-an, dan 4 persen pada tahun 1980.
Pertumbuhan di 1990 mulai menurun karena sebagian besar disebabkan oleh “bubble
economy” di akhir 1980-an, dan jatuhnya Bursa Saham Tokyo di tahun 1990-1992.
Periode ini disebut sebagai "Lost Decade" di Jepang.
Kesuksesan di Jepang dalam Asian Miracle disebabkan oleh : (1) investasi
dalam negeri yang tinggi (karena tingginya tingkat tabungan dalam negeri) dan
(2) pertumbuhan human capital[2] (perbaikan produktivitas dalam bidang
agrikultrul) yang sangat cepat dan berfungsi sebagai bahan bakar pertumbuhan. Karena meningkatnya pertumbuhan human capital maka meningkat pula
angkatan kerja yang berpendidikan dan semakin efektifnya sistem administrasi
publik. Selain itu, lambatnya pertumbuhan
penduduk menjadi
salah satu
aspek yang mendukung kesuksesan pertumbuhan di Jepang.
Tentunya
keberhasilan ini tidak lepas dari peran pemerintah dalam menerapkan atau
menjalankan kebijakan pembangunan yang fundamental untuk mencapai pertumbuhan
ini. (1) Kebijakan untuk mendorong kinerja sistem perbankan agar dapat dengan
mudah diakses oleh non-tradisional saver tentunya akan meningkatkan
tabungan masyarakat. Selain itu diperlukan juga campur tangan pemerintah dalam
membangun pasar keuangan yang kuat, dan juga menarik investasi dalam dan luar
negeri dengan menjaga agar tingkat bunga deposito rendah, juga menjaga loan
deposit ratio (LDR) pada ambang atas untuk meningkatkan keuntungan. (2)
Kebijakan dalam pendidikan yang terfokus pada pendidikan dasar dan menengah
tentunya akan meningkatkan keterampilan pada para angkatan kerja (3) Dan
kebijakan dalam bidang agrikultrul yang menekankan pada aspek produktivitas dan
tidak mengenakan pajak pada penduduk pedalaman (kelas ekonomi bawah) tentunya
sangat mendukung terciptanya penurunan ketidakmerataan ekonomi. (4) Sedangkan
dalam kebijakan bidang industri, pemerintah memberikan subsidi pada beberapa
industri terpilih, melindungi industri substitusi impor dan mendorong terciptanya
industri yang berorientasi ekspor.
C.
Lost
Decade
Pertumbuhan di 1990 mulai menurun karena sebagian besar disebabkan oleh
“bubble economy” di akhir 1980-an, dan jatuhnya Bursa Saham Tokyo di tahun
1990-2000-an. Periode ini disebut sebagai "Lost Decade" di Jepang. Pertumbuhan
ekonomi yang kuat dari tahun 1980-an tiba-tiba berakhir pada awal 1990-an. Pada
akhir 1980-an, kelemahan dalam sistem ekonomi Jepang telah memicu gelombang
besar spekulasi oleh perusahaan Jepang, bank dan perusahaan sekuritas. Kombinasi
nilai tanah yang sangat tinggi dan suku bunga sangat rendah secara singkat
menyebabkan posisi di mana kredit mudah tersedia dan sangat murah. Hal ini
menyebabkan pinjaman besar, hasil yang diinvestasikan sebagian besar dalam
saham domestik asing dan surat berharga.
Perjanjian Plaza 22 September 1985 mengawali
terjadinya bubble economy[3].
Negara – negara di Eropa seperti Perancis,
Jerman dan Inggris sepakat untuk melakukan depresiasi dolar AS
terhadap yen Jepang
dan Deutsche
Mark Jerman melalui intervensi di bursa valuta asing. Sebagai akibat Perjanjian
Plaza, nilai yen jadi lebih kuat dengan cepat. Sebelum Perjanjian Plaza, yen
diperdagangkan di bursa valas Tokyo pada 242 yen per dolar AS. Pada akhir 1985,
yen telah menjadi begitu kuat hingga melewati 200 yen per dolar AS[4].
Nilai yen menguat hingga 128 yen per dolar AS pada awal tahun 1988.[5]
Hingga Februari 1987, tingkat diskonto resmi
diturunkan sebanyak 5 kali sebagai kebijakan mengatasi tingginya nilai yen,
serta untuk membantu industri manufaktur dan industri ekspor dalam negeri
Jepang yang telah mengalami penurunan daya saing akibat tingginya nilai yen.
Pada waktu itu, tingkat diskonto resmi diturunkan hingga 2,5%. Akibat menguatnya nilai yen secara drastis, di
pasar uang
terjadi kerugian besar dalam aset denominasi dolar AS seperti obligasi pemerintah Amerika Serikat. Kerugian
tersebut mendorong kembalinya dana-dana ke dalam negeri yang tidak memiliki
risiko valuta asing. Sebagai akibatnya, harga saham di bursa saham
dan harga tanah di pasar realestat meningkat. Kenaikan nilai aset dan laba di atas
kertas membuat individu dan perusahaan makin memperbesar investasi. Tingginya
nilai jaminan dan nilai aset membuat bank-bank makin memperbesar pinjaman
hingga terjadi gelembung ekonomi..
Menyadari bahwa gelembung ekonomi berkelanjutan, maka Departemen Keuangan dengan tajam
menaikkan suku bunga pada akhir tahun 1989. Ini merupakan kebijakan pengetatan
moneter oleh Pemerintah Jepang. Hal ini juga menyebabkan krisis utang; sebagian
besar utang-utang yang telah dipinjam sebelumnya sampai semakin memburuk, yang
pada gilirannya menyebabkan krisis di sektor perbankan, dengan banyak bank yang
ditalangi oleh pemerintah.
D.
Krisis
Ekonomi 1997
Asian Miracle yang sejak tahun 1960an menjadi kebanggaan Asia Timur
runtuh ketika pada 2 Juli 1997, Baht Thailand terdepresiasi hingga 25 %
terhadap dolar AS dan menimbulkan hyper inflasi. Investasi dan pertumbuhan
mengalami stagnasi, bahkan negatif. Angka pengangguran dan kemiskinan meningkat
tajam. Dalam waktu singkat, krisis ekonomi ini segera menyebar ke negara-negara
tetangganya seperti Indonesia, Malaysia, Korea dan Filipina bahkan hingga ke
Rusia dan Amerika Latin. Krisis yang terjadi memaksa negara-negara ini, kecuali
Malaysia, untuk meminta bantuan kepada International Monetary Fund (IMF)
sebagai rezim moneter yang diharapkan dapat membantu setiap anggotanya untuk
dapat keluar dari krisis. Berbagai resep kebijakan yang ditawarkan IMF ternyata
tidak berhasil membawa negara-negara ini keluar dari krisis.
Berikut ini
adalah grafik pertumbuhan Jepang sejak masa Asian Miracle hingga masa krisis
Moneter 1997 sampai tahun 2007 :
Gambar 1.1 Grafik
Pertumbuhan Ekonomi Jepang 1956-2007
Dari grafik tersebut dapat dijelaskan bahwa pertumbuhan ekonomi dari tahun 1956 hingga tahun 1990-an meningkat cukup drastic dan stabil. Akan tetapi, pada tahun 1991 hingga 2002 tingkat investasi menurun sekitar kurang lebih 3 persen, sedangkan angka angkatan kerja dan produktivitas mencapai di bawah nol persen. Pada tahun 2003 hingga 2007 angka investasi menurun juga dengan angka penurunan mencapai 5 %. Akan tetapi pada tahun 2003 jumlah produktivitas meningkat grafiknya menjadi diatas nol persen atau tepatnya 5 %. Sedangkan angka angkatan kerja jumlahnya semakin menurun dengan angka dibawan nol persen sebanyak -3% yang berarti menurun 2% dari angka sebelumnya yaitu -1%.
Dari grafik tersebut dapat dijelaskan bahwa pertumbuhan ekonomi dari tahun 1956 hingga tahun 1990-an meningkat cukup drastic dan stabil. Akan tetapi, pada tahun 1991 hingga 2002 tingkat investasi menurun sekitar kurang lebih 3 persen, sedangkan angka angkatan kerja dan produktivitas mencapai di bawah nol persen. Pada tahun 2003 hingga 2007 angka investasi menurun juga dengan angka penurunan mencapai 5 %. Akan tetapi pada tahun 2003 jumlah produktivitas meningkat grafiknya menjadi diatas nol persen atau tepatnya 5 %. Sedangkan angka angkatan kerja jumlahnya semakin menurun dengan angka dibawan nol persen sebanyak -3% yang berarti menurun 2% dari angka sebelumnya yaitu -1%.
Daftar
Pustaka :
Sen, Amartya. 1998, “Human Development and Financial Concervatism.” World Development, Vol. 26, No.4.
World Bank, 1993. The
East Asia Miracle: Economic Growth and Public Policy,
Oxford University
Press,
New York.
[1]Economy Watch edisi 15 Maret
2010. < http://www.economywatch.com/world_economy/japan/?page=full>
[2] Amartya Sen.
1998, “Human Development and Financial Concervatism.” World Development, Vol.
26, No.4, p.733-742.
[3] Justin Mc Curry, 2008. The Lost Decade in Japan.<http://www.guardian.co.uk/business/2008/sep/30/japan.japan>, diakses pada tanggal 4
April 2012 pukul 16.00 WIB.
[4] James Fallows, 2011. The Myth of Japans Lost Decades, <http://www.theatlantic.com/international/archive/2011/02/the-myth-of-japans-lost-decades/71741/>, diakses pada tanggal 4
April 2012 pukul 16.00 WIB.
[5] Christopher Wood, 1992. The Bubble Economy: Japan's Extraordinary
Speculative Boom of the '80's and the Dramatic Bust of the '90', The
Atlantic Monthly Press,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar