Turki adalah salah satu
contoh negara yang mengalami perubahan menyeluruh, baik secara ideologis maupun
sistem politik. Setelah Revolusi 1923 dan penggunaan ajaran Kemalisme yang
berpedoman pada Six Arrow
(Republikanisme, Nasionalisme, Sekularisme, Populisme, Statism dan
Revolusionism), praktis Turki berubah menjadi negara sekuler ala Barat yang
mendorong sektor agama menjadi urusan yang lebih privat, jauh dari publik. Kaum
Kemalis memang menginginkan modernitas pada tiga sekor utama, yaitu
politik/institusional, ekonomi dan budaya (ideological)
yang bertujuan utama “membawa Turki ke tingkat kebudayaan yang lebih maju”, yang kala itu
direpresentasikan sebaga Barat[1].
Doktrinasi identitas sebagai satu kesatuan bangsa Turki
diterima rakyatnya sebagaimana yang tercantum pada pasal 88 Konstitusi[2].
Pemerintahannya yang notabene sangat
sekuler dan mengikuti pola-pola Barat berhadapan dengan masyarakat internal
Turki sendiri yang masih tetap memelihara nilai-nilai dan identitas Islam
sekecil apapun interpretasi mereka.
Padahal dalam konstelasi politik internasional kini,
identitas mulai dipertanyakan terkait dengan isu-isu kontemporer, termasuk yang
dialami Turki. Terlebih lagi, setelah era Perang Dingin, isu-isu identitas
termasuk di dalamnya budaya, mulai berkembang di ranah politik internasional[3].
Sebagai negara yang memiliki power
medium ditinjau dari letak geografis, populasi dan kapabilitas militernya,
kebijakan yang diambil Turki sedikit banyak dipengaruhi oleh isu kontemporer
yang sedang dialami oleh aktor-aktor dalam struktur internasional di sekitarnya[4].
Kebijakan luar negeri Turki yang sebelumnya tidak terlalu dominan di Timur
Tengah pada era Perang Dingin pun kini harus menyesuaikan dengan kondisi global
dimana perhatian aktor-aktor utamanya bergeser pada daerah Timur Tengah.
Budaya
didefinisikan sebagai kesadaran atas persamaan bahasa, etnisitas, sejarah,
agama ataupun lanskap geografis . Persamaan identitas, yang bisa dicontohkan
dalam bentuk kesamaan latar belakang
bangsa, agama ataupun sejarah memberikan “label” bagi para pemiliknya,
yang membedakaannya dari yang lain. Identitas inilah, mengutip istilah yang
digunakan Edward Said pada suatu titik
pemahaman tertentu, mampu mengidentifikasikan orang lain yang memiliki
perbedaan identitas sebagai liyan/ the
Others di luar grup mereka sendiri.
Persoalan ini dapat berujung pada dua hasil: kerjasama/ kooperasi atau konflik.
Perbedaan identitas bisa terjadi meskipun secara fisik mereka tinggal di wilayah
yang berdekatan, karena perbedaan ini lebih bersifat psikologis (psycological distance). Dalam
perkembangannya, identitas yang dimiliki masyarakat di dunia sangat kompleks,
tidak hanya terdiri dari satu jenis identitas (multiple identities), warga muslim
Turki tentunya merasa sebagai warga Turki sekaligus umat Islam. Rasa memiliki
identitas yang sama akan timbul apabila diserang oleh mereka yang mengusung
identitas yang berlawanan sehingga mereka yang berada dalam kondisi terancam
identitasnya itu harus memilih untuk masuk kelompok yang mana . Identitas
kelompok pada akhirnya akan menimbulkan moral communities yang mengikat dan
mempengaruhi cara pandang suatu masyarakat.
Kondisi Politik Luar Negeri (PLN) Turki, secara umum
dipengaruhi oleh: kondisi geopolitik,
identitas dan latar belakang sejarah (historical
background)-nya[5].
Letak negara yang berada di persilangan tiga benua besar (Asia, Eropa dan
Afrika) serta semenjak ditemukannya minyak di Timur Tengah dan Kaukasus juga
menjadikan apapun kebijakan luar negeri yang diambil Turki juga berefek minimal
pada negara-negara yang satu regional dengannya hingga negara-negara lain yang
memiliki kepentingan tidak langsung dengan Turki, misalkan AS dan Rusia. Faktor
kedua yaitu tentang isu identitas berangkat dari dua pertanyaan mendasar, yaitu
tentang dimana sebenarnya Turki
berada —Asia, Timur Tengah, Balkan atau Barat (Western) seperti yang dicita-citakan Mustafa Kemal, atau lebih
lanjut Turki juga dapat menjadi bagian dari semua regional itu dalam waktu yang
bersamaan; dan bagaimana seharusnya
identitas nasional Turki terbentuk—sekuler kah dengan tetap berpijak pada fakta
bahwa penduduk Turki yang muslim, atau menganut sistem negara multi etnik?
Titik awal analisis rangkaian pertanyaan mengenai identitas ini dapat dimulai
dari cita-cita awal pendiri Turki modern. Yaitu tentang keinginan untuk
memodernisasi Turki, setara dengan nilai-nilai negara Barat (meskipun tidak
menyukai intervensi mereka di dalam domestik Turki) yang konsekuensinya
menyebabkan nilai-nilai keagamaan didorong menjauh dari sektor publik. Sehingga
hingga kini, cita-cita menjadi bagian dari negara Barat tetap menjadi perhatian
utama dari elit politik Turki. Secara
umum, di era paska Perang Dingin ideologis politik di Turki terbagi menjadi dua
kubu besar, yaitu ideologi Republikan yang konservatif (nasionalisme,
sekularisme, dan Westernisasi ala Attaturk) dan kalangan yang lebih religius
dan berorientasi pada kelompok-kelompok etnis.
Meskipun Turki negaranya menganut sistem sekuler,
pemerintahannya bisa jadi ingin
menunjukkan bahwa sekularitas tidak berarti rasa solidaritasnya terhadap
Palestina yang sesama muslim terhapus, terlebih lagi serangan terhadap kapal
Mavi Marmara juga menimbulkan korban jiwa warga negara Turki. Dari konsep yang
dijelaskan Mansbach & Raferty kondisi seperti ini jamak timbul di era paska
Perang Dingin karena power negara
semakin menurun sehingga memungkinkan pergerakan identitas-identitas di dalam
negara untuk muncul ke permukaan. Namun, untuk mengemukakan analisis mengapa
Turki memilih untuk tidak mengakui blokade Israel atas Gaza serta mengancam
akan mengeluarkan kebijakan seperti itu, memang diperlukan studi lebih lanjut.
Keinginan Turki untuk masuk dalam keanggotaan Uni Eropa, kontroversi penggunaan
hijab/ jilbab/ headscarf untuk perempuan dalam aktivitas politik,
persengketaan dengan Siprus dan Yunani dan yang terakhir penurunan level
diplomatik dengan Israel sebagai respons dari penerbitan laporan PBB mengenai
insiden Freedeom Flotilla menunjukkan bahwa identitas berpengaruh pada
serangkaian keputusan yang diambil oleh negara, pada era paska Perang Dingin
ini.
Namun secara umum, arah orientasi PLN tetap bergantung
pada partai mana yang memiliki suara mayoritas dan menguasai parlemen Turki.
Faktor yang ketiga, yaitu mengenai latar belakang sejarah pada politik luar
negeri Turki dapat diruntut karakternya
sejak era Kekaisaran Ottoman. Masa
transisi ketika awalnya dulu menjadi negara dengan power kuat kemudian tiba-tiba berubah menjadi negara republik
dengan level power medium tentu sulit
bagi perumusan kebijakan politik luar negeri Turki. Pengalaman traumatik ini
menimbulkan transisi yang sulit bagi Turki. Selain itu, pola kepemimpinan juga
menjadi pola tersendiri bagi penerus-penerusnya. Rata-rata kepemimpinan para
penerus Attaturk juga berasal dari militer, demikian juga di era dimana Partai
Demokrat (Democratic Party –DP)
berkuasa. Status quo ini tetap
bertahan hingga era 1960-an ketika kebijakan tentang PLN Turki mulai menjadi
fokus perhatian pemerintah.
[1] Altunisik, Meliha B & Tur, Ozlem. Turkey, Challenge of Continuity and Change : Turkey In World Affair. RouledgeCurzon hal 15-16
[2] Altunsuk, Meliha B & Tur, Ozlem. Turkey: Challenge of Continuity and Change. RouledgeCurzon
hlm. 20
[3] Lawson, Stephanie. 2006. Culture and Context in the World Politics.
Basingstoke: Palgrave Macmillan hlm. 17
[4] ^ Ibid hlm 131
[5] Altunsuk, Meliha B & Tur, Ozlem. Turkey, Challenge of Continuity and Change : Turkey In World Affair. RouledgeCurzon hal 89-90
Tidak ada komentar:
Posting Komentar