BAB I
PENDAHULUAN
I.
Latar
Belakang
Hubungan
antar negara telah terjadi sejak dahulu yang menghasilkan sebuah kerjasama dengan
mengirimkan perwakilan ke negara lain untuk mengurus segala aspek yang
berhubungan dengan negara pengirim di negara penerima perwakilan negara
tersebut. Perwakilan diplomatik sebagai perwakilan dari negara pengirim
memiliki kedudukan yang sama dengan kedudukan kepala negara di negara penerima.
Implikasinya untuk memperlancar tugas serta fungsi perwakilan diplomasi, maka
negara penerima harus memberikan kekebalan dan keistimewaan agar dapat
melakanakan tugas seluas – luasnya tanpa ada gangguan. Akan tetapi kebebasan
dan keistimewaan tersebut tetap berada pada aturan – aturan hukum kebiasaan
internasional yang sudah berlaku pada praktek – praktek negara serta dalam
perjanjian – perjanjian menyangkut hubungan antar negara.
Seorang
pejabat diplomatik di Negara lain melaksanakan tugasnya, Ia dianggap tidak
berada di wilayah Negara penerima walaupun sebenarnya Ia barada di wilayah
penerima. Tetapi ia tunduk dan dikuasai hukum pada hukum Negara pengirim,
termasuk didalamnya gedung perwakilan atau tempat kediamannya merupakan
perluasan dari wilayah Negara pengirim (Extraterritorialiteit).
Kekebalan
yang dimiliki pejabat diplomatik tidak bersifat mutlak tetapi terbatas
maksudnya bahwa kekebalan tersebut tidak bersifat pribadi, bukan untuk
kepentingan pribadi pejabat yang bersangkutan melainkan bersifat fungsional
dalam hal menjalankan tugas diplomatiknya saja.Kekebalan diplomatik termasuk
didalamnya kekebalan terhadap alat-alat kekuasaan dari Negara penerima dan
kekebalan terhadap gangguan yang merugikan. Sehingga mengandung arti bahwa
seorang pejabat diplomatik memiliki hak untuk mendapat perlindungan dari alat- alat Negara
penerima. Pejabat diplomatik dianggap kebal baik terhadap Yurisdiksi pidana,
perdata maupun administrasi Negara penerima.
Meskipun
demikian kekebalan diplomatik tersebut juga dapat ditanggalkan atau dihapus. Hal
ini dapat saja terjadi apabila dalam hubungan diplomatik tersebut diwarnai
adanya ketegangan yang timbul antara Negara penerima dan Negara pengirim. Kemungkinan
dikarenakan adanya penyalahgunaaan kekebalan dan keistimewaan yang dimiliki
oleh pejabat diplomatik.Hak untuk menegakkan kekebalan diplomatik adalah nagara
pegirim tetapi biasanya terlebih dahulu diajukan permohonan yang dilakukan oleh
Negara penerima. Baik itu dengan adanya pengesahan khusus dari Negara pengirim
atau hanya diwakilkan kepala perwakilan diplomatik.
Studi kasus di negara Jerman dimana ada TKI
yang diperkerjakan oleh majikannya yang seorang Duta Besar dari wilayah Arab
Saudi yang telah bekerja dengan keluarga tersebut sejak April 2009. Akan tetapi
pada tahun Oktober 2010 TKI tersebut melarikan diri karena selalu mendapat
siksaan dan gaji yang tidak pernah dibayar dari majikannya tersebut lalu
melaporkannya pada organisasi non pemerintah Jerman yaitu Ban Ying untuk meminta
perlindungan dan pembelaan atas hukum karena kejadian yang dialaminya. Tapi
permasalahannya adalah tersangka yang melakukan tindak kekerasan adalah seorang
duta besar dan menjadi korban adalah warga negara yang bukan berasal dari
negara yang sama dengan duta besar tersebut. Masalah ini semakin berkembang
karena kejadiannya terjadi di luar negara tersangka dan korban. Berdasarkan
uraian masalah diatas maka, Penulis memberikan judul “Peran Hukum Diplomasi Terkait Kasus Hukum Penganiayaan Terhadap TKI
oleh Duta Besar Arab Saudi di Jerman”
II.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
Peran Diplomat Indonesia dalam mengatasi permasalahan tersebut ?
2. Bagaimana
Posisi Hukum Jerman dalam menangani masalah tersebut?
BAB II
ISI
A.
Pengertian
Hukum Diplomatik
Beberapa ahli memberikan
definisi mengenai hukum diplomatik:[1]
1. Random
House Dictionary
Perilaku
yang ditunjukan dengan negosiasi dan hubungan lain antara pemerintah dan
negara; ilmu seni yang berhubungan dengan negosiasi; kemampuan untuk mengelola
negosiasi.
2.
N.A Maryan Green
Sebuah
hubungan diplomatik dan memiliki misi yang tetap yakni untuk melayani dan
digunakan sebagai alat sehingga negara-negara tertentu dapat saling
berkomunikasi dalam mencapai kepentingan nasional masing – masing negara.
3.
Sir Ernest Satow
Tata
kelola hubungan diplomatik secara resmi diantara negara-negara maju dengan
negara-negara yang sedang berkembang yang bertujuan membentuk kedamaian.
4.
Quency Wright
Menitikberatkan
pada dua batasan :
a.
Pekerjaan yang berhubungan dengan
kebijaksanaan, kelihaian dan kemampuan untuk bernegosiasi dan bertransaksi
b.
Suatu seni bernegosiasi agar mencapai harga
maksimal dengan system politik dimana perang mungkin bisa terjadi.
5.
Harold Nicholson
a.
Mengatur hubungan dalam negeri yang bisa
diartikan dalam negosiasi
b.
Metode yang biasa digunakan dalam hubungan
yang biasa dan dikelola oleh duta besar atau perwakilan negara.
c.
Segala urusan yang berhubungan dengan
diplomasi
d.
Kemampuan yang diperlukan dalam pergaulan
internasional dan negosiasi
6.
Brownlie
Diplomasi
yang terdiri dari berbagai negara yang terbentuk atau memelihara hubungan yang
saling menguntungkan diantara negara, berkomunikasi dengan yang lain, atau
membawa transaksi politik atau hukum, dalam setiap kasus melalui orang yang kompeten di bidangnya.
Kesimpulannya
dari pengertian – pengertian menurut beberapa ahli bahwa hukum diplomatik bahwa
hukum diplomatik digunakan untuk merujuk pada norma-norma hukum internasional
yang mengatur tentang kedudukan dan fungsi misi diplomatik yang dipertukarkan oleh
negara-negara yang telah membina hubungan diplomatik.
B.
Konvensi
Wina Mengenai Hukum Diplomatik
1. Konvensi
Wina 1961 mengenai hubungan diplomatik
Dimulai
sejak PBB berdiri pada tahun 1945, sejak saat itu pula hukum diplomatik telah
dimulai pada tahun 1949 oleh Komisi Hukum Internasional khususnya mengenai
kekebalan dan pergaulan diplomatik yang telah secara rinci digariskan. Konvesi
Wina ini terdiri dari 53 pasal yang isinya hampir semua aspek dari hubungan diplomatik.
Ada pula isnya mengenai kewarganegaraan
dan menyelesaikan sengketa yang terdiri dari 8 – 10 pasal. Konvensi Wina 1961
itu beserta dengan dua protokolnya telah diberlakukan sejak tanggal 24 April
1964 hingga 31 Desember 1987. Ada total 151 negara yang menjadi para pihak
dalam Konvensi tersebut dimana 42 di antaranya adalah pihak dalam protokol
pilihan mengenai perolehan kewarganegaraan dan 52 negara telah menjadi pihak
dalam protokol pilihan tentang keharusan untuk menyelesaikan sengketa.
Pasal 1-19 Konvensi Wina
1961 menyangkut pembentukan misi-misi diplomatik, hak dan cara-cara untuk
pengangkatan serta penyerahan surat-surat kepercayaan dari Kepala Perwakilan
Diplomatik (Dubes); pasal 20-28 mengenai kekebalan dan keistimewaan bagi
misi-misi diplomatik termasuk di dalamnya pembebasan atas berbagai pajak. Pasal
29-36 adalah mengenai kekebalan dan keistimewaan yang diberikan kepada para
diplomat dan keistimewaan bagi anggota keluarganya serta staf pelayanan yang
bekerja pada mereka dan pasal 48-53 berisi tentang berbagai ketentuan mengenai
penandatanganan, aksesi, ratifikasi dan mulai berlakunya Konvensi itu.
2. Konvensi
Wina 1963
Konvensi
Wina 1963 mengenai hubungan konsuler. Untuk pertama kalinya usaha guna
mengadakan kodifikasi peraturan-peraturan tentang lembaga konsul telah
dilakukan dalam Konverensi negara-negara Amerika tahun 1928 di Havana, Kuba, di
mana dalam tahun itu telah disetujui Convention on Consular Agents. Setelah
itu, dirasakan belum ada suatu usaha yang cukup serius untuk mengadakan
kodifikasi lebih lanjut tentang peraturan-peraturan tentang hubungan konsuler
kecuali setelah Majelis Umum PBB meminta kepada Komisi Hukum Internasional
untuk melakukan kodifikasi mengenai masalah tersebut.
3. Konvensi
New York 1969 (misi Khusus)
Konvensi ini Wina
tahun 1961 dan 1963 telah mengutamakan kodifikasi dari hukum kebiasaan yang
ada, sementara konvensi ini bertujuan untuk memberi peraturan yang lebih
mengatur mengenai misi-misi khusus yang memiliki tujuan terbatas yang berbeda
dengan misi diplomatik yang sifatnya permanen.
4. Konvensi
New York mengenai pencegahan dan penghukuman kejahatan terhadap orang-
orang yang menurut hukum internasional termasuk para diplomat
Pada tahun 1971, Organisasi Negara-negara Amerika telah menyetujui suatu konvensi tentang masalah tersebutpada siding ke-24. Konvensi mengenai pencegahan dan penghukuman kejahatan-kejahatan yang dilakukan terhadap orang-orang yang dilindungi secara hukum internasional akhirnya disetujui oleh Majelis Umum PBB di New York pada tanggal 14 Desember 1973 dengan rseolusi 3166(XXVII). Dalam mukadimahnya, ditekankan akan pentingnya aturan-aturan hukum internasional mengenai tidak boleh diganggu gugatnya dan perlunya proteksi secara khusus bagi orang-orang yang menurut hukum internasional harus dilindungi termasuk kewajiban-kewajiban negara dalam menangani dan mengatasi masalah itu. Konvensi New York 1973 ini terdiri dari 20 pasal dan walaupun hanya beberapa ketentuan tetapi cukup untuk mencakup berbagai aspek yang berkaitan dengan perlindungan dan penghukuman terhadap pelanggaran.
Pada tahun 1971, Organisasi Negara-negara Amerika telah menyetujui suatu konvensi tentang masalah tersebutpada siding ke-24. Konvensi mengenai pencegahan dan penghukuman kejahatan-kejahatan yang dilakukan terhadap orang-orang yang dilindungi secara hukum internasional akhirnya disetujui oleh Majelis Umum PBB di New York pada tanggal 14 Desember 1973 dengan rseolusi 3166(XXVII). Dalam mukadimahnya, ditekankan akan pentingnya aturan-aturan hukum internasional mengenai tidak boleh diganggu gugatnya dan perlunya proteksi secara khusus bagi orang-orang yang menurut hukum internasional harus dilindungi termasuk kewajiban-kewajiban negara dalam menangani dan mengatasi masalah itu. Konvensi New York 1973 ini terdiri dari 20 pasal dan walaupun hanya beberapa ketentuan tetapi cukup untuk mencakup berbagai aspek yang berkaitan dengan perlindungan dan penghukuman terhadap pelanggaran.
5. Konvensi Wina 1975 mengenai keterwakilan
negara dalam hubungannya dengan Organisasi Internasional yang bersifat
universal.
Dalam perkembangannya lebih lanjut,
ada permasalahan dalam persidangan tahun 1971 yang mengajukan tiga masalah,
yaitu :Dampak yang mungkin terjadi dalam keadaan yang luar biasa seperti tidak
adanya pengakuan, tidak adanya putusan, hubungan diplomatik dan konsuler atau
adanya pertikaian senjata di antara anggota-anggota organisasi internasional
itu sendiri, Perlu dimasukkannya ketentuan-ketentuan mengenai penyelesaian
sengketa, Delegasi peninjau dari negara-negara ke berbagai badan dan
konferensi.
C.
Fungsi
Perwakilan Diplomatik
1. Mewakili
negara pengirim di dalam negara Penerima
Disini perwakilan diplomatik
berfungsi sebagai penghubung antara negara pengirim dan negera penerima
2. Proteksi
Badan perwakilan berfungsi
untuk melindungi kepentingan negara pengirim dan warga negaranya di negara
penerima.
3. Negosiasi
(Perundingan)
Pejabat diplomatik dapat
melakukan perundingan dengan negara penerima terkait dengan masalah – masalah
teknis antara dua negara.
4. Memberikan
Laporan
Pejabat diplomat wajib
memberikan laporan kepada negara pengirim mengenai hal – hal yang berkaitan
dengan kinerjanya di negara penerima.
5. Meningkatkan
hubungan antar negara
Untuk memajukan hubungan
antara dua negara dalam hal ini meliputi kerjasama di bidang sosial, budaya,
ekonomi dan politik.
D.
Peran
Diplomat Indonesia dalam Mengatasi Kasus WNI di luar negeri
Sesuai
dengan fungsi dari perwakilan diplomatik yang tertuang dalam konvensi WIna 1961
disebutkan bahwa salah satu fungsinya untuk proteksi atau melindungi. Peran
Diplomat Indonesia dalam menyelesaikan kasus penganiayaan terhadap TKI yang
dianiaya oleh majikannya yang seorang diplomat Arab Saudi tersebut dengan
menjalankan tugasnya yakni dalam fungsi representative (mewakili Negara
pengirim di Negara penerima) untuk menjalankan fungsi yang lain yakni fungsi
proteksi atau perlindungan yang mana
melindungi kepentingan Negara pengirim dan warga negaranya dalam batas yang
diperbolehkan hukum internasional dalam hal ini melindungi TKI tersebut dengan
bantuan hukum yang dapat dilakukan oleh diplomat Indonesia dengan melakukan
perundingan atau negosiasi yang digunakan untuk pembelaan dan dapat
mengupayakan dana untuk proses hukum yang akan dilakukan. Kasus tersebut berada
di luar negeri sehingga penyelesainnya dapat dilakukan oleh perwakilan diplomatik
Indonesia yang berada di negara Jerman.
Hal
tersebut menyangkut tugas-tugas diplomatik yang telah diatur dalam pasal 3 ayat
(1) Konvensi Wina 1961.
Lalu
pemerintah Indonesia dapat melakukan negosiasi seperti yang tertuang dalam
fungsi perwakilan iplomatik. Dimana diplomat Indonesia harus melakukan
negosiasi dengan Pemerintah Arab Saudi untuk menyelesaikan kasus tersebut
dengan membawa diplomat tersebut ke dalam Pengadilan Arab Saudi. Jika
Pemerintah Arab Saudi menolak untuk melakukan perundingan atau negosiasi dengan
Pemerintah Indonesia, maka disini kita dapat meminta bantuan terhadap Pemerintah
Jerman, teapi posisinya sebagai mediator atau orang ketiga saja.
Karena
penyelesaiaan kasus ini tidak dapat di lakukan melalui pengadilan maka kasus ini di selesaikan di luar
pengadilan dimana diplomat Indonesia dapat melakukan negosiasi dengan negara
Arab Saudi dalam penyelesaiaan kasus penganiayaan yang dilakukan oleh
perwakilan diplomatik asal Arab Saudi tersebut untuk dapat diadili di Indonesia
atau di negara Arab Saudi. Atas kesepakatan dari negosiasi yang dilakukan maka
kasus tersebut dapat di usut dan pelaku penganiayaan dalan hal ini perwakilan
diplomatik asal Arab Saudi. Namun, karena kasus penganiayaan tersebut dilakukan
di negara Jerman maka penyelesaiaan kasus ini dapat di selesaikan melalui
mediasi dimana pihak ketiga yang dapat membantu penyelesaiaan kasus ini adalah
negara Jerman karena kasus tersebut terjadi di negara tersebut.
E.
Kewenangan
Pengadilan Jerman dalam mengadili Diplomat Arab Saudi
Diplomat
Arab Saudi di Jerman yang telah melakukan penyiksaan terhadap Dewi Ratnasari
memang mempunyai kekebalan atas rumah kediamannya beserta keluarganya (Konvensi
Wina Pasal 29,30,31,37). Namun, dalam hal ini diplomat tersebut telah melakukan
pelanggaran HAM atas pelayan pribadi (private servant). Dalam hal ini maka yang
dapat dilakukan adalah mengembailkan diplomat tersebut ke negaranya (Arab
Saudi). Ketentuan selanjutnya adalah tergantung kebijakan dari Negara Arab
Saudi tersebut, bisa diladili di negaranya sendiri ataupun di Negara Jerman.
Akan tetapi biasanya setelah dikembalikan di negaranya, maka yang berwenang
untuk mengadili adalah pengadilan Arab Saudi.
Sehingga, diplomat Arab Saudi di Jerman yang
telah melakukan penyiksaan terhadap TKI tersebut dapat dihukum atau tidaknya
dengan Hukum Negara Jerman tergantung dari negoisasi negara-negara terkait,
yang mana diplomat Arab Saudi yang telah melakukan pelanggaran memiliki
kekebalan hukum sehingga tanpa adanya penyerahan kewenangan Arab Saudi untuk
menghukum diplomatnya maka berlaku Kekebalan terhadap jurisdiksi pengadilan
negara penerima diatur dalam Pasal 31 Konvensi Wina 1961. Jika penyerahan
kewenangan diberikan kepada Negara Jerman maka Negara Arab Saudi harus
menanggalkan kekebalan utusan diplomatiknya terlebih dahulu, baru kemudian
negara penerima Jerman berhak menerapkan hukum atas utusan itu terkait dengan
peraturan yang ada di Negara tersebut. Jika pejabat diplomatik yang melanggar
hukum itu tidak diadili oleh negara penerima, bukan berarti bebas begitu saja
dari segala tuntutan hukum. Ia dapat diadili dan dijatuhi hukuman oleh peradilan
negaranya. Apalagi hukum pidana kebanyakan negara memberikan wewenang kepada
peradilan-peradilannya untuk mengadili dan menghukum kejahatan-kejahatan yang
dilakukan warga negaranya di luar negeri. Oleh karena itu, hal tersebut
sangatlah penting adanya fungsi diplomatik yang mengenai adanya perundingan-
perundingan dengan Negara pemerintah untuk melndungi kepentingan-kepentingan
Negara pengirim dan warga negaranya di Negara penerima dalam batas-batas yang
diperbolehkan oleh hukum internasional.
Alternatif
lainnya adalah diplomat arab saudi memiliki kekebalan hukum di Jerman sehingga
pengadilan dan penghukuman atasnya harus atas persetujuan dan tergantung oleh
kepala negaranya. Negara pengirim (Arab Saudi) harus menanggalkan kekebalan
utusan diplomatiknya terlebih dahulu, baru kemudian negara penerima (Jerman)
berhak menerapkan hukum atas utusan itu.Tentu saja, meskipun pejabat diplomatik
yang melanggar hukum itu tidak diadili oleh negara penerima, bukan berarti ia
bebas begitu saja dari segala tuntutan hukum. Ia dapat diadili dan dijatuhi
hukuman oleh peradilan negaranya. Apalagi hukum pidana kebanyakan negara
memberikan wewenang kepada peradilan-peradilannya untuk mengadili dan menghukum
kejahatan-kejahatan yang dilakukan warganegaranya di luar negeri.
BAB
III
PENUTUP
I.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian masalah dan isi diatas dapat
disimpulkan bahwa Diplomat Indonesia hendaknya melakukan negosiasi terkait
dengan kasus penganiayaan terhadap TKI di Jerman dengan pelakunya adalah duta besar
Arab Saudi. Dalam melakukan negosiasi antar diplomat Indonesia dan Pemerintah
Arab Saudi apabila diperlukan dapat dimasukan negara Jerman sebagai pihak
ketiga atau mediator. Negara Jerman tidak bisa ikut campur maupun menghukum
diplomat Arab Saudi tersebut. Akan tetapi, negara Jerman berkewajiban untuk
memulangkan duta besar tersebut lalu diserahkan kepada negara pengirim yaitu
Arab Saudi. Negara Jerman berhak untuk menghukum duta besar Arab Saudi sesuai
dengan kesepakatan yang telah dilakukan oleh negara Jerman dan negara Arab
Saudi.
Daftar Pustaka :
Anonim,
2008. `Hukum Diplomatik dan Konsuler`, Diakses Pada Tanggal 24 Maret 2012 pukul
12.30 WIB, <http://lovetya.wordpress.com/2008/12/15/hukum-diplomatik-dan-konsuler/>
Larry, Muhamad, 2011. `Hak Imunitas Kepala Negara di
hadapan Pengadilan Internasional Ditinjau Dari Segi Hukum International`,
Diakses Pada Tanggal 24 Maret 2012 pukul 12.00 WIB, <http://www.slideshare.net/muhammadlarry/hak-imunitas-kepala-negara-di-hadapan-pengadilan-internasional-ditinjau-dari-segi-hukum-internasional-muhammad-larry-izmi>
Mouna, Boer, 2000.
Hukum Internasional Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika
Global, Bandung, Alummi
Suryokusumo,
Sumaryo,1995. Hukum Diplomatik Teori dan Kasus, Alumni, Bandung,
BalasHapusSAYA SEKELUARGA INGIN MENGUCAPKAN BANYAK TERIMAH KASIH KEPADA AKI NAWE BERKAT BANTUANNNYA SEMUA HUTANG HUTANG SAYA SUDAH PADA LUNAS SEMUA BAHKAN SEKARAN SAYA SUDAH BISA BUKA TOKO SENDIRI,ITU SEMUA ATAS BANTUAN AKI YG TELAH MEMBERIKAN ANKA JITUNYA KEPADA SAYA DAN ALHAMDULILLAH ITU BENER2 TERBUKTI TEMBUS..BAGI ANDA YG INGIN SEPERTI SAYA DAN YANG SANGAT MEMERLUKAN ANGKA RITUAL 2D 3D 4D YANG DIJAMIN 100% TEMBUS SILAHKAN HUBUNGI AKI NAWE DI 085-218-379-259
SAYA SEKELUARGA INGIN MENGUCAPKAN BANYAK TERIMAH KASIH KEPADA AKI NAWE BERKAT BANTUANNNYA SEMUA HUTANG HUTANG SAYA SUDAH PADA LUNAS SEMUA BAHKAN SEKARAN SAYA SUDAH BISA BUKA TOKO SENDIRI,ITU SEMUA ATAS BANTUAN AKI YG TELAH MEMBERIKAN ANKA JITUNYA KEPADA SAYA DAN ALHAMDULILLAH ITU BENER2 TERBUKTI TEMBUS..BAGI ANDA YG INGIN SEPERTI SAYA DAN YANG SANGAT MEMERLUKAN ANGKA RITUAL 2D 3D 4D YANG DIJAMIN 100% TEMBUS SILAHKAN HUBUNGI AKI NAWE DI 085-218-379-259
BalasHapusBagi yang mampu berpikiran jernih setelah jadi BMI pasti sukses, pada dasarnya di perantauan cari modal dulu dan bekerja yg baik sampai kontrak finis, oh iya tidak lupa sy ucapkan terima kasih banyak kpd teman sy yg ada di singapura..! berkat postingan dia di halaman facebook TKI Sukses sy baca. sy bsa kenal nma nya Mbah Suro Guru spiritual PESUGIHAN ANKA GHAIB TOGEL 2D sampai 6D dan PESUGIHAN DANA GHAIB. . pikir-pikir kurang lebih 7 tahun kerja jd Tkw di Hongkong hanya jeritan batin dan tetes air mata ini selalu menharap tp tdk ada hasil sm sekali. Mana lagi dapat majikan galak. salah sedikit kena marah lagi . Tiap bulan dapat gaji hanya separoh saja . . itu pun tdk cukup biaya anak di kampung. Tp sy beranikan diri tlpon nmr beliau untuk minta bantuan nya. melalui PESUGIHAN DANA GHAIB Nya . syukur Alhamdulillah benar2 terbukti sekarang. terima kasih ya allah atas semua rejeki mu ini. Sy sudah bs pulang ke kmpung halaman buka usha skrg. jk tman minat ingin tlpn beliau . ini nmr nya +62 82354640471 & 082354640471 siapa tau anda bisa di bantu dan cocok sprti sy . aminn