Etnis Kurdi
Berdasarkan laporan CIA
Factbook, pada tahun 2008 setidaknya sebanyak 20% dari populasi Turki terdiri
dari kelompok agama dan etnis minoritas. Konstitusi Turki yang menetapkan
desain prinsip nasionalitas tunggal bagi semua warga negaranya tidak mengakui hak-hak
kelompok etnis sebagai satu entitas tersendiri, salah satunya adalah etnis
kurdi. Etnis ini merupakan salah satu kelompok minoritas yang menimbulkan
pengaruh besar dalam politik domestik (nasional) Turki. Etnis ini menempati
wilayah Turki selatan yang berbatasan dengan Syria, Iran dan Iraq dengan
persebaran populasi mayoritas di provinsi Mardin, Siirt, Hakkari, Diyarbakir,
Bitlis, Mus, Van dan Agri. Di samping itu adapula yang menempati provinsi Urfa,
Adiyaman, Malatya, Elazig, Tunceli, Erzincan, Bingol dan Kars dalam jumlah yang
signifikan. Namun, karena adanya deportasi dan juga proses migrasi ada beberapa
yang juga tinggal di wilayah Turki lainnya termasuk juga di Istanbul.
Kebanyakan dari wilayah-wilayah yang didiami tadi memiliki struktur bentang
alam berupa pegunungan.
Mayoritas
orang Kurdi yang tinggal di selatan merupakan penduduk yang mengandalkan
perekonomiannya pada sektor pertanian dan juga masih sering berpindah tempat
(semi-nomaden). Mereka memiliki sistem ekonomi feudal yang mengakibatkan
banyaknya arus investasi dan juga pergerakan modal yang lari ke
provinsi-provinsi Turki lainnya. Oleh karena itu, wilayah-wilayah orang Kurdi
ini termasuk kedalam wilayah termiskin. Selain buruknya perekonomian, fasilitas
kesehatan dan tenaga medis juga sangat minim. Tingkat buta huruf masyarakat
Kurdi juga tergolong tinggi jika dibandingkan dengan sisa populasi lain. Sekolah-sekolah
dasar yang ada juga sangat terbatas dan merupakan sekolah yang dioperasikan
oleh pemerintah Turki dengan mandat penggunaan bahasa pengajaran berupa bahasa
Turki. Selain itu sekolah-sekolah ini juga menjadi alat yang dipakai oleh
pemerintah untuk memaksakan asimilasi kepada masyarakat Kurdi. Hasilnya, banyak
dari keluarga Kurdi yang sebenarnya mampu dan memiliki akses ke pendidikan lebih
memilih untuk tidak menyekolahkan anak-anak mereka. Asimilasi serta sistem
sensus yang kacau ditambah juga oleh kebijakan jangka panjang pemerintah yang
tidak mengakui masyarakat etnis kurdi selain sebagai “mountain Turks” mengakibatkan
sulitnya penghitungan mengenai jumlah asli populasi etnis kurdi Turki.
Keberadaan masyarakat
kurdi di Turki sendiri bisa dilacak sejak tahun 2000 sebelum masehi. Etnis ini
memperoleh nama Kurdi karena berhasil menaklukan bangsa Arab pada abad ketujuh,
yang juga menjadi awal konversi mereka ke Islam. Sebelum masa Perang Dunia I
etnis Kurdi berada dibawah kekuasaan Kekaisaran Ottoman. Perjanjian Lausane
yang ditandatangani pada bulan Juli 1923 dimana seharusnya mengandung isi
pemberian kemerdekaan bagi masyarakat kurdi pada akhirnya hanya mengakui
Republik Turki tanpa pemberian provisi bagi etnis kurdi. Dari tahun 1925 sampai
1943 setidaknya muncul empat gerakan pemberontakan dari kelompok kurdi
minoritas. Namun gerakan-gerakan ini berhasil di padamkan oleh pemerintah. Yang
terakhir adalah gerakan pemberontakan yang muncul pada 15 Agustus 1984 yang
masih aktif hingga saat ini.
Pada masa awal
pembentukan negara Turki kebijakan pemerintah yang ditujukan kepada etnis kurdi
juga telah mengisyaratkan kebijakan nasionalis bagi Turkification. Dimana hingga pada tahun 1991 pemerintah masih tetap
saja menolak eksistensi masyarakat kurdi dengan menyebut kelompok ini sebagai
“mountain Turks”. Kebijakan pemerintah ini meliputi tindakan penindasan
terhadap semua aspek budaya kurdi. Tindakan ini ditunjukkan dengan larangan
pemakaian bahasa kurdi di sekolah-sekolah serta di kantor-kantor penerbitan.
Pemberian nama untuk kota
atau desa dan bahkan bagi anak-anak keturunan kurdi dengan memakai nama kurdi
juga tidak diperbolehkan. Pembelajaran maupun penelitian mengenai sejarah dan
kehidupan sosial masyarakat kurdi juga diharamkan oleh pemerintah. Tindakan
paksaan transfer populasi serta adanya pembunuhan dan penyiksaan yang dilakukan
oleh pemerintah terhadap siapa saja yang mendukung pan-nasionalisme kurdi juga
menjadi salah satu bentuk diskriminasi pemerintah terhadap kurdi minoritas.
Pemerintah Turki juga melakukan sensor terhadap media penerbitan yang
mengakomodasi nasionalisme etnis kurdi dan bahkan melakukan penangkapan bagi
jurnalis yang ketahuan terlibat dengan aksi-aksi tersebut. Semua bentuk
asosiasi di dalam kelompok kurdi juga secara efektif dianggap ilegal.
Strategi utama
pemerintah dalam mengasimilasi etnis Kurdi adalah tindakan penindasan bahasa.
Namun, kendati upaya-upaya pemerintah untuk menyebarluaskan penggunaan bahasa
Turki telah dilakukan selama lebih dari beberapa dekade, sebagian besar orang
Kurdi pada kenyataannya berhasil mempertahankan bahasa asli mereka. Di Turki,
terdapat dua dialek utama yang diucapkan oleh orang-orang kurdi yakni Kermanji
yang digunakan oleh mayoritas suku kurdi serta oleh beberapa orang kurdi yang
berada di Irak dan Iran; dan Zaza yang dipakai terutama di daerah segitiga di
Turki tenggara antara Diyarbakir, Ezurum dan Sivas serta di beberapa wilayah
Iran.
Kurdistan’s Worker Party (PKK)
Partai
Pekerja Kurdistan didirikan pada tahun 1974. Asosiasi ini secara resmi menjadi
sebuah partai pada tahun 1978. PKK adalah partai yang berhaluan
Marxist/Leninisme dengan tujuannya adalah untuk meminta kemerdekaan bagi
masyarakat kurdi di Turki, terutama di daerah Turki Selatan yang notabene
merupakan wilayah yang di dominasi oleh komunitas kurdi. Sejak tanggal 15
Agustus 1984 partai ini secara aktif terlibat dalam banyak kegiatan politis dan
keorganisasian, namun pada saat yang sama juga menggerakkan usaha pemberontakan
melawan Turki. Dari tahun 1990 sampai pada tahun 1994, PKK berhasil membentuk
pasukan militan sebanyak 10.000 pasukan. Menjelang akhir tahun 1990-an PKK
telah bergerak di luar kegiatan gerilyawan
yang sering menggunakan markas operasi di daerah pedesaan dengan memulai aksi teror di daerah urban. PKK sendiri
pernah menerima antipati luas dan isolasi dari kalangan masyarakat kurdi pasca
pemberontakan yang dicetuskan pada tahun 1980. Namun, bekas-bekas pemberontakan
1980 dan juga praktik-praktik rejim militer selanjutnya yang kian lama kian
menekan kelompok radikal terutama kelompok-kelompok kiri pada akhirnya justru semakin
meningkatkan popularitas PKK. Penindasan yang dilakukan oleh rejim militer tadi
justru mengubah PKK menjadi pembela martabat masyarakat kurdi. Namun, naiknya
popularitas PKK karena tindakan dan kebijakan represif tadi dalam jangka
panjang justru berdampak pada semakin brutalnya penindasan yang dilakukan oleh
negara.
Aktivitas militansi PKK
berlanjut dengan tidak hanya menarget kekuatan militer Turki namun juga hampir
semua elemen negara yang meliputi layanan umum seperti jaringan listrik dan
komunikasi, pabrik, fasilitas irigasi maupun sekolah-sekolah beserta dengan
tenaga pengajarnya. Pemerintah merespon serangan-serangan yang dilakukan PKK
dengan mengandalkan cara-cara militer. Sebagai contohnya adalah diefektifkannya
sistem pertahanan desa dan negara darurat di delapan provinsi serta dengan
adanya implementasi undang-undang untuk melawan terorisme.
Referensi :
Fox, Jonathan . Kurds in
Turkey.1995. diakses dari
http://www.asylumlaw.org/docs/turkey/mar99_turkey_kurds.pdf
pada 23 September 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar